Selain kebudayaan dan kelezatan makanan khas daerahnya,
Solo juga menjadi naungan tempat-tempat paling bersejarah di Indonesia. Sebut
saja Lokananta dan Monumen Pers Nasional. Lokananta adalah studio rekaman musik
pertama di Indonesia. Monumen Pers Nasional menjadi sangat bersejarah karena
gedung tersebut menandakan hari kebangkitan pers di Indonesia. Walaupun usianya
sangat tua, dua aset sejarah ini tergolong hebat dalam upaya pemeliharaan
eksistensi mereka di tengah perkembangan masyarakat yang dinamis.
Tidak puas dengan
segelintir pengetahuan yang dimiliki, pada hari Kamis tanggal 2 Mei 2013 mahasiswa
Jurusan Ilmu Komunikasi UGM memutuskan untuk berkunjung ke Solo. Mereka mencari
tahu seluk beluk dua aset sejarah tersebut. Destinasi pertama adalah Lokananta
kemudian Monumen Pers Nasional. Kunjungan itu juga termotivasi oleh kedekatan
mahasiswa Ilmu Komunikasi dengan dunia broadcasting
dan pers. Dengan begitu, setelah perjalanan usai mereka memiliki wawasan
yang lebih tentang sejarah ilmu komunikasi dan media di Indonesia.
Lokananta berdiri sejak 29 Oktober 1956. Lokananta adalah
pelopor dunia rekaman di Indonesia. Pendi Hariyadi, Ketua Lokananta mengatakan
bahwa studio rekaman tersebut bukan hanya semata-mata untuk merekam,
audiovisual juga dilayani. Maka tidak heran visi Lokananta adalah menjadi
Museum Musik Indonesia. Hariyadi juga menegaskan tentang dana operasional
Lokananta yang benar-bernar murni dari usaha sendiri. “Tidak ada anggaran dari
pemerintah. Kami dapat dana dari orang-orang yang menyewa tempat di area Lokananta
seperti arena futsal dan pebisnis kuliner”, imbuhnya.
Studio yang terletak di jalan Ahmad
Yani 387, Solo ini memang menyimpan banyak
sejarah perjalanan musik Indonesia dan bisa dikatakan sebagai titik nol musik
Indonesia. Sejak
awal berdirinya, Lokananta mempunyai dua tugas utama yaitu produksi dan
duplikasi piringan hitam juga audio kaset. Lalu karena melihat potensi pasar,
pada tahun 1961 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 251, status Lokananta menjadi
Perusahaan Negara sehingga studio rekaman tersebut menjadi salah satu cabang dari Perum Percetakan
Negara RI.
Dalam perjalanan sejarahnya,
musisi-musisi seperti Gesang, Titik Puspa, Waldjinah, Ismail Marzuki, Bubi
Chen, Jack Lesmana, Bing Slamet, Idris Sardi dan masih banyak yang lainnya
pernah melakukan rekaman disana. Ada lebih dari 40 ribu piringan hitam musik
tradisional diseluruh Indonesia berada di sana. Ribuan
master rekaman berbagai genre musik, dari mulai pop, kroncong, hingga jazz
sejak tahun 50-an hingga 80-an disimpan di sana. Bahkan, master rekaman pidato
proklamasi Soekarno juga tersimpan disana.
Sayangnya seiring dengan waktu,
kisah kejayaan Lokananta kian menghilang. Dahulu pembajakan besar-besaran mulai
terjadi.
“Humas Lokananta menyebutkan telah terjadi 629 kasus pembajakan”, ujar Andi, staff Lokananta. Cobaan menjadi semakin berat ketika kurang lebih tujuh puluh label lain di luar
Lokananta berkembang pesat di Indonesia. Selain itu, kondisi semua dokumen berharga yang
tersimpan di sana sudah kurang layak karena minimnya dana yang dimiliki oleh
Lokananta. Beberapa koleksi pun dijual secara terpaksa kepada kolektor untuk
biaya operasional.
Likuidasi BUMN yang
terjadi pada tahun 1998 semakin mencekik napas Lokananta. “Dahulu Lokananta
adalah BUMN di bawah Departemen Penerangan. Maka dari itu, kita sempat vakum
selama hampir tiga tahun dari tahun 1998-2000”, kata Titi, salah satu founder
Lokananta. Pada kenyataannya, Lokananta masih mampu melangkah sedikit demi
sedikit. Hal pertama yang dilakukan adalah menjaga aset yang tersisa yaitu 14
karyawan yang belum diangkat menjadi PNS. Titi menyebutkan bahwa setiap hari
selama enam bulan mereka membersihkan piringan-piringan hitam yang tersisa
tanpa digaji sepeser pun.
Hingga pada tahun
2000 Lokananta mencoba satu langkah baru. Mereka melakukan pemasaran produk
kembali. “Dengan 14 karyawan, Lokananta menjual 1000 keping kaset yang tersisa
dan hasil yang diperoleh hanya Rp7900”, cerita Titi. Walaupun jumlahnya sangat
kecil, hal tersebut menjadi langkah awal untuk menggaungkan kembali nama
Lokananta di mata masyarakat.
Oleh karena itu, para pecinta musik
Indonesia menggalang kampanye yang bertajuk Savelokanta. Beberapa waktu lalu penyanyi Glenn Fredly merilis album DVD Live yang
bertajuk Glenn Fredly & Bakucakar live from Lokananta. Glenn
berkampanye dengan berbagai cara untuk mengangkat kembali Lokananta menjadi warisan budaya Indonesia yang
harus dilestarikan. Selain Glenn, grup musik White Shoes and The Couples Company juga merekam ulang lagu-lagu mereka untuk
mengenalkan kembali kepada generasi muda Indonesia agar peduli dengan
Lokananta.
Hingga detik ini,
Lokananta telah berhasil mengembangkan inovasi-inovasi terbaru dan mendapatkan
kembali kepercayaan masyarakat Indonesia. “Mixer
music yang dimiliki Lokananta hanya ada empat buah di dunia”, kata Andi.
Layanan pun diperluas dengan penerimaan jasa printing, duplicating, desain, dan lain-lain. Jika dahulu aktivitas
Lokananta berorientasi pada nonprofit, sekarang mereka harus mengikuti
perkembangan zaman teknologi dan berupaya untuk menghasilkan uang. Selain itu,
Lokananta menciptakan e-gamelan yaitu
seperangkat gamelan yang dikemas dalam bentuk digital sehingga suaranya pun
disesuaikan dengan nada aslinya. “Dalam menjawab selera anak muda, kami
meluaskan genre yang sesuai dengan
karakter mereka”, ungkap Hariyadi. Dengan begitu, Lokananta mampu bersinar lagi
di mata masyarakat dan musikus Indonesia.
Cerita lain datang
dari Monumen Pers Nasional yang berdiri di Surakarta. Awalnya gedung tersebut
merupakan Markas Besar Palang Merah Indonesia namun beberapa tokoh seperti B.M.
Diah, S.Tahsin, Rosihan Anwar, dan lain-lain mencetuskan gagasan tentang
pembangunan Yayasan Museum Pers Indonesia. Modal utamanya hanyalah berupa
koleksi buku dan majalah milik Soedarjo Tjokrosisworo. Akhirnya pada tanggal 9
Februari 1978, Presiden Soeharto meresmikan gedung societeit Sasana Soeka
menjadi Monumen Pers Nasional dengan penandatanganan prasasti. Kemudian
semenjak tanggal 16 Maret 2011 melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan
Informatika Nomor 06/PER/M.KOMINFO/03/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Monumen Pers Nasional diputuskan bahwa Monumen Pers Nasional adalah Unit
Pelaksana Teknis di lingkungan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi
Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Ketika memasuki area Monumen Pers Nasional, hal pertama
yang menarik perhatian adalah Papan Baca. Papan kaca yang berbentuk persegi
panjang tersebut memasang surat kabar Solopos,
Suara Merdeka, dan Republika terbaru. Papan tersebut berdiri di sebelah
trotoar, menghadap jalan raya, dan siapapun bisa membacanya tanpa terkecuali. Oleh
karena itu, tidak heran jika konssumen Papan Baca Mulai dari kalangan atas hingga
kalangan bawah,
Ketika memasuki ruang tengah, selain prasasti pers, di
pojok kanan dan kiri ruang pertemuan dipajang enam diorama yang menceritakan
sejarah perkembangan pers di Indonesia. Diorama pertama menggambarkan
penyampaian berita pada zaman prasejarah hingga kerajaan Indonesia. Diorama
kedua menceritakan tentang pers pada zaman penjajahan Belanda. Diorama ketiga
menggambarkan pers pada zaman penjajahan Jepang. Diorama keempat menceritakan
perkembangan pers di Indonesia pada awal kemerdekaan. Diorama kelima
menggambarkan perkembangan pers di massa Orde Baru. Diorama keenam menjelaskan
perkembangan pers pada massa reformasi yang menjunjung tinggi kebebasan pers.
Koleksi benda pers bersejarah di Monumen Pers Nasional
juga sangat menarik perhatian pengunjung. Seperti baju wartawan kuno yang
pernah dipakai Hendro Subroto, penerima anugerah Penegak Pers Pancasila saat
meliput integrasi Timor Timur ke Indonesia. Pemancar Radio Kambing dipergunakan
semasa perang gerilya clash ke II tahun 1948-1949. Guna menghindari serangan
pasukan musuh pemancar disembunyikan di dekat kandang kambing maka dari itu
disebut Pemancar Radio Kambing. Di bagian tengah terdapat ruang Media Center. Di sana pengunjung dapat
menggunakan wifi gratis dengan
perangkat komputer yang telah disediakan.
Dengan ketersediaan koleksi kebudayaan, literatur, dan
artefak yang sangat terpelihara di Lokananta dan Monumen Pers Nasional,
masyarakat akan lebih mengenal dan mencintai sejarah Ilmu Komunikasi dan Media
di Indonesia. Akan tetapi mengenal sajalah tidak cukup. Semua orang harus turut
serta dalam upaya pelestariannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar