“Keindahan sebuah tulisan boleh menjadi
unsur penting dalam dunia jurnalisme namun wartawan dilarang menghitamkan
objektivitas berita dan nasib publik.”
Antara nilai
jual berita dan nasib publik. Dua hal ini menimbulkan gejolak batin yang hebat
dalam diri seorang wartawan. Nilai jual berita boleh jadi persoalan hidup mati
seorang wartawan. Tanpa menyelipkan unsur ‘pemanis’ dalam berita, masyarakat
bisa dibuat jemu dan beralih pada berita lain. Atensi pembaca adalah barang mahal.
Maka dari itu, kelihaian wartawan dalam menyusun kata adalah hal yang urgent. Di sisi lain, nasib publik selalu
menggantung pada berita-berita karya wartawan. Berita media massa memiliki
kekuatan untuk membentuk opini publik. Jika subjektivitas dan ‘pemanis’
wartawan terlalu banyak, maka tidak heran keterpihakan terhadap suatu objek
muncul dalam paradigma masyarakat.
Kesalahan
terbesar wartawan adalah apabila mereka menganulir esensi ‘pemanis’ itu
sendiri. Objektivitas berita meluntur dan manipulasi fakta merebak di setiap
kalimat. Pemanis dalam berita yang mudah dikenali adalah diksi. Diksi yang menarik
bukannya berwujud bahasa berbunga-bunga yang justru menyimpang dari inti
berita. Kekuatan diksi terwujud jika tulisan dapat menghanyutkan pembaca tanpa
mengaburkan unsur 5W+1H. Tujuan akhir penulisan adalah bentuk karya tulis yang
bisa dinikmati pembaca dan tidak sekadar memuaskan hasrat penulisnya (Prajarto,
2006:4). Walaupun subjektivitas wartawan tidak bisa dihilangkan sama sekali,
akurasi data adalah prioritas utama yang harus dikejar.
Daya tarik
berita sexy yang diangkat wartawan justru
dapat menimbulkan bahaya jika prinsip cover
both sides tidak direalisasikan. Berita sexy
adalah lahan subur yang diburu wartawan untuk meningkatkan nilai jual tulisan
mereka di media massa. Dalam istilah jurnalisme cover both sides berarti memberi ruang yang imbang pada pihak yang
berkonflik. Wartawan harus bersikap netral dan impartial (tidak memihak salah satu pihak yang berkonflik). Berita
‘pincang’ hanya akan menyulut kemarahan publik. Sebuah media massa bisa
dituntut jika memberitakan hal-hal yang tidak sesuai kode etik jurnalistik.
Masyarakat yang cerdas dan kritis pasti menyentak berita-berita semacam itu.
Tetapi, keadaan berkata lain jika konsumen berasal dari golongan tidak
terdidik. Tanpa berpikir dua kali mereka menganggap bahwa pihak ini salah
karena pihak itu yang benar. Tentu saja, berita-berita semacam ini memperburuk
kualitas pandangan hidup masyarakat.
Tanggung jawab
wartawan adalah melaporkan bukan menciptakan berita. Melaporkan berarti
menyuguhkan kembali peristiwa yang terjadi tanpa mengurangi akurasinya.
Wartawan dilarang mereka-reka sebuah berita. Wartawan harus memahami efek
berita yang ditulisnya terhadap publik. Hal ini tidak terlepas dari posisi
publik sebagai konsumen berita dan koran sebagai salah satu bentuk media massa
yang penyebarannya masif. Anggapan ini diperkuat oleh sifat komunikasi yang irreversible. Sekali mengkomunikasikan
sesuatu, tidak seorang pun mampu mengendalikan ataupun menghilangkan efek
komunikasi itu (Mulyana,2003). Oleh
karena itu, sebuah berita harus beranjak dari fakta-fakta yang terjadi di
lapangan. Adalah hal yang tercela jika penulis berita mencoba untuk membohongi
publik dengan imajinai belaka.
Wartawan di
lain sisi juga bagian dari publik. Artinya, wartawan harus membuat berita yang
baik demi mendapatkan informasi yang jelas dan bebas dari unsur keterpihakan. Keindahan
tulisan memang tidak pantas dinomorsekiankan. Namun, mengindahkan tulisan bukan
berarti mengurangi kadar objektivitas berita. Indah bukan berarti harus
melanggar kode etik jurnalistik. Indah yang benar adalah tanpa mendulang kartu
merah.#BRIDDGING COURSE 13
Daftar Pustaka
Prajarto,
Nunung. 2006. Tulis Saja, Kapan Lagi. Yogyakarta:
Penerbit Fisipol UGM, hal. 4.
Mulyana,
Deddy. 2003. Ilmu Komunikasi: Suatu
Pengantar. Bandung:Remaja Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar