“Ketika mulut lelah berbagi pengalaman, tangan selalu
terangsang untuk bergerak.”
Sekali mendengar ‘ilmu komunikasi’ entah mengapa Universitas Gadjah Mada
selalu muncul membuntutinya. Padahal UGM tidak pernah memberi hadiah,
membelikan apartemen mewah, apalagi menawarkan kuliah gratis secara cuma-cuma.
Lalu, ibuk bertanya kenapa harus UGM. Mulut ini pun spontan menjawab “Aku
pingin kayak ibuk.” Ibuk dan Bapak dulu kuliah di UGM. Minimal anaknya harus
menempuh jalan sukses yang sama. Ah, begitu sederhana.
Ada saja orang ‘kecil’ memimpikan sesuatu yang ‘besar’. Orang di balik
cermin masih saja ingusan tetapi UGM
sejak dulu tidak pernah berubah. Megah! Aku sering menertawai diriku sendiri.
Anak yang suka mengurung diri di rumah tiba-tiba mau kuliah di UGM. Anak pemalu
dan kaku dengan santai mencontreng
ilmu komunikasi yang dikenal banyak orang karena keluwesannya. Anak yang sering
bungkuk saat berjalan dan gugup berbicara di depan umum kok justru menjebloskan diri dalam dunia seni berbicara. Ha, ha, ha, hati pun bebas meremehkan
majikannya.
Pilihan sudah dijatuhkan namun prediksi yang
aneh-aneh mulai menyelimuti pikiran. Takut ditolak UGM. Takut ibuk kecewa.
Takut guru-guru mencemooh. Takut kalah dengan hati yang terlanjur menertawai
kebodohanku. Takut diinjak-injak oleh kelemahanku sendiri. Semua kelelahan ini
membuatku berpaling pada Tuhan. Aku ikatkan sebuah selendang di pinggangku. Aku
nyalakan sebatang dupa yang
menebarkan aroma kedamaian. Lalu, aku pergi ke merajan (tempat suci agama Hindu di lingkungan keluarga). Setiap
doa yang kupanjatkan mengharu biru dalam lamunanku. “Ida Sang Hyang Widhi, tolong beri kejernihan pikiran dan perasaan.
Berikan hamba kekuatan dan kebijaksanaan yang maha untuk menerima segala
konsekuensi yang muncul. Semoga hamba tetap berdiri saat kenyataan mengkhianati
harapan. Dan semoga hamba tetap menyebut namaMu ketika muncul tangis bahagia”.
Menulis ini saja kembali menusuk ulu hati. Sakit.
Ada satu hari yang menuntaskan segala kegundahan ini. Tangan Tuhan menjawab
jeritanku. Ya, lamaranku dibalas UGM dengan jawaban “Lolos”. Terima kasih Hyang
Widhi...
Bahagia. Tentu
saja! Aku bukan orang munafik. Aku sempat meneteskan air mata karena saking
bahagianya. Tetapi, aku ‘sangat’ bahagia karena majikan mampu mematahkan
paradigma hati. Ah, akhirnya hati yang tertawa sinis sepanjang hari bisa
dibungkam seumur hidup. Selesai sudah. Sesederhana itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar