Aku masih
mengintaimu. Tanpa desahan nafas dan hentakkan kaki kau merasuk ke dalam
detik-detik semesta yang tidak terhitung jumlahnya. Radarku masih berfungsi
dengan baik jadi kau tidak perlu khawatir. Kau hadir memenuhi alur-alur duniawi.
Melesat tanpa sekat. Tak peduli apakah tempat singgahmu berlubang, bersudut,
longgar ataupun sempit. Selama pemain drama itu belum beranjak, keberadaanmu masih dibutuhkan. Kau lahir tanpa ada yang
memintamu begitu.
Aku ingat pada
mereka yang gagal memaknai firasat. Siapa yang tidak benci dengan pengkhianatan?
Mereka memaki satu sama lain. Seenaknya mengubah sumpah suci menjadi kutukan
tak terampuni. Menggerutu sepanjang hari tentang mimpi-mimpi usangnya yang
enggan mewujudkan diri. Bibirnya bergetar melawan janji mati tiga tahun lalu. Orang-orang dulu mengiyakan dirinya
sehangat musim semi di Eropa dan sedamai bukit Yerusalem. Semua firasat kokoh
itu patah. Cairan pelupuk yang membengkak itu seakan berkata aku akan meluncur. Menelusuri pipi untuk
ke sekian kalinya. Pada saat itulah kau muncul sebagai hasil pertarungan emosi
dan pemutus abadi.
Lalu aku membayangi
kau menyela di antara ribuan doa di pura, vihara, masjid, dan gereja. Tempat
nurani mengangkat nada-nada syahdu berselimut melodi futuristik. Tempat spesial
bagi mereka yang memiliki relasi dengan pemiliknya. Begitu khusyuk. Ada banyak
harapan lahir menggaung dan menggema di dinding-dinding lubuk hati. Mereka
ingin direstui. Pada waktu yang bersamaan namun di kesempatan yang lain kau berubah
menjadi begitu keruh. Kau melekat pada mereka yang merasa tidak lagi diampuni. Isak
tangis semakin kuat dan mereka mencoba menebus dosa. Aku pun sangat mengerti
bagaimana rasanya memiliki dosa. Dan kau tahu aku hanya mengandalkanmu ketika
orang-orang mengatakan semuanya terlanjur menjadi bubur. Kemudian aku lebih
percaya akan kesetiaanmu lagi saat kau temani hatiku berdoa pada-Nya.
Sekali lagi kau
muncul ketika jiwa terpenuhi oleh kemenangan yang mereka tafsirkan sendiri. Dunia
akan mempersiapkan sambutan meriah dengan senyum sumringah. Mereka bernyanyi
dan melepaskan semua tawa yang sempat tertahan di momen pahit sepanjang masa. Kali
ini kau tampil lebih cantik dengan kepribadianmu yang putih dan jernih. Kau
memilih terjun dari sudut mata. Itu berarti kau mencapai titik paling murni.
Semurni kemenangan yang menjemput pejuang sejati.
Lacrima,
selagi radarku masih berfungsi, adakah yang kau butuhkan untuk menemani hidupmu
sendiri? Akan kucari, setelah melihat apa yang telah kau berikan pada
manusia-manusia itu,....termasuk aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar