Enam puluh tujuh tahun telah berlalu sejak tragedi bom atom Hiroshima dan
Nagasaki di Jepang. Kenangan atas dua serangan bom mahadahsyat tersebut masih
terus diingat oleh warga Jepang. Warga tidak akan pernah lupa bagaimana bom
meluluhlantakan kota mereka. Tentunya mereka juga terus ingat akan pendarahan, leukimia, katarak, dan tumor yang muncul
atas efek serangan bom nuklir beradiasi tinggi itu. Perlu kita pahami, bukan
hanya warga Jepang yang boleh ‘memiliki’ sejarah ini. Semua negara di dunia
termasuk Indonesia berhak mencari tahu sedalam-dalamnya tragedi pahit yang
terjadi pada tahun 1945 ini.
Pengeboman Hiroshima dan Nagasaki masih menyisakan tanda
tanya besar di benak semua orang. Pasalnya, beberapa sumber mengupas tragedi
ini dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Hampir semua buku sejarah yang kita
dapatkan sejak SD, SMP, hingga SMA, menyuguhkan alasan yang sama. Jepang pernah
menyerang Pearl Harbour dan sekaligus menyeret Amerika Serikat ke dalam Perang
Dunia II. Atas dasar balas dendam, Amerika Serikat mengebom Hiroshima dan
Nagasaki. Namun, ada beberapa sumber di luar buku tersebut berpendapat lain.
Pakar komunikasi menengarai bahwa alasan utama pengeboman kedua kota tersebut
adalah kesalahpahaman pihak Amerika Serikat dalam menafsirkan pidato Perdana
Menteri Jepang. Perbedaan opini tersebut memunculkan efek keraguan yang hebat
pada masyarakat.
Selama ini masyarakat percaya bahwa pada tahun 1945 Amerika Serikat ingin
memberi pelajaran kepada Jepang yang telah berani ‘mengutak-atik’ Pearl
Harbour. Kemarahan tersebut memantapkan hati Amerika Serikat untuk menjatuhkan
bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Akhirnya, Little Boy yang memiliki daya ledak 13 kiloton TNT meluluhlantakkan
Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945. Ledakkan ini melenyapkan sekitar 250.000
jiwa dari 350.000 penduduk seluruhnya. Tepat tiga hari setelah itu, Fat Man menghancurkan Nagasaki dengan
korban yang lebih sedikit yaitu sekitar 80.000 jiwa. Kedua bom ini segera
menghentikan aktivitas kehidupan di kedua kota tersebut. Jepang pun bermuram
atas serangan bertubi-tubi ini.
Ternyata, sudut pandang komunikasi menguak sejarah pengeboman ini dari segi
yang berbeda. Pada tanggal 26 Juli 1945 pihak sekutu menyiarkan hasil Deklarasi
Postdam yang menyatakan agar pihak Jepang menyerah tanpa syarat dalam Perang
Dunia II. Sebagai reaksi atas deklarasi tersebut, keesokan harinya Perdana
Menteri Jepang, Suzuki Kantarou, mengadakan pidato kenegaraan di radio yang
disiarkan ke seluruh penjuru bumi. Pidatonya berbunyi, "Seifu wa kore o mokusatsu shi, aku made
sensou kanchiku ni maishin suru." Kantor berita Domei menerjemahkan
kata mokusatsu menjadi “mengabaikan”,
alih-alih maknanya yang benar adalah “jangan memberi komentar sampai keputusan
diambil”. Hal ini mengindikasikan bahwa penerjemah bahasa bisa mengubah opini
publik dalam sekejap mata.
Suatu versi lain mengatakan bahwa Jenderal MacArthur memerintahkan anak
buahnya untuk memeriksa keabsahan arti kata mokusatsu.
Dia memeriksa semua daftar kata dalam kamus bahasa Jepang-Inggris yang memberi
padanan kata no comment. Kemudian,
MacArthur melapor kepada Presiden Truman yang memutuskan untuk menjatuhkan bom
atom. Alhasil, sepuluh hari setelah Deklarasi Postdam, pemerintah Amerika
Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima. Padahal, makna kata mokusatsu itu adalah “Kami akan menaati
ultimatum Tuan tanpa komentar”. Ironis!
Perbedaan segi pandang tentang sejarah dunia tersebut memang semakin
menggoyahkan kepercayaan kita. Awalnya, kita sudah menanamkan pemahaman bahwa
pengeboman dua kota Jepang tersebut dipicu oleh aksi balas dendam. Namun,
banyak versi sumber membidik kesalahan penerjemah bahasa yang dimiliki Amerika
Serikat. Lantas, pengetahuan baru tersebut mengintervensi pemahaman kita yang
sudah ada sebelumnya. Begitu seterusnya hingga kita tidak bisa lagi mempercayai
sumber manapun. Namun, pada akhirnya karakter kepribadian mampu menjawab
segalanya. Kita perlu menjaga konsistensi berpikir kritis agar tidak mudah hanyut dalam
kemajemukan informasi seperti ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar