Minggu, 21 Oktober 2012

Hiroshima dan Nagasaki Merana, Rakyat Bertanya-Tanya

 

Enam puluh tujuh tahun telah berlalu sejak tragedi bom atom Hiroshima dan Nagasaki di Jepang. Kenangan atas dua serangan bom mahadahsyat tersebut masih terus diingat oleh warga Jepang. Warga tidak akan pernah lupa bagaimana bom meluluhlantakan kota mereka. Tentunya mereka juga terus ingat akan pendarahan, leukimia, katarak, dan tumor yang muncul atas efek serangan bom nuklir beradiasi tinggi itu. Perlu kita pahami, bukan hanya warga Jepang yang boleh ‘memiliki’ sejarah ini. Semua negara di dunia termasuk Indonesia berhak mencari tahu sedalam-dalamnya tragedi pahit yang terjadi pada tahun 1945 ini.
Pengeboman Hiroshima dan Nagasaki masih menyisakan tanda tanya besar di benak semua orang. Pasalnya, beberapa sumber mengupas tragedi ini dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Hampir semua buku sejarah yang kita dapatkan sejak SD, SMP, hingga SMA, menyuguhkan alasan yang sama. Jepang pernah menyerang Pearl Harbour dan sekaligus menyeret Amerika Serikat ke dalam Perang Dunia II. Atas dasar balas dendam, Amerika Serikat mengebom Hiroshima dan Nagasaki. Namun, ada beberapa sumber di luar buku tersebut berpendapat lain. Pakar komunikasi menengarai bahwa alasan utama pengeboman kedua kota tersebut adalah kesalahpahaman pihak Amerika Serikat dalam menafsirkan pidato Perdana Menteri Jepang. Perbedaan opini tersebut memunculkan efek keraguan yang hebat pada masyarakat.
Selama ini masyarakat percaya bahwa pada tahun 1945 Amerika Serikat ingin memberi pelajaran kepada Jepang yang telah berani ‘mengutak-atik’ Pearl Harbour. Kemarahan tersebut memantapkan hati Amerika Serikat untuk menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Akhirnya, Little Boy yang memiliki daya ledak 13 kiloton TNT meluluhlantakkan Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945. Ledakkan ini melenyapkan sekitar 250.000 jiwa dari 350.000 penduduk seluruhnya. Tepat tiga hari setelah itu, Fat Man menghancurkan Nagasaki dengan korban yang lebih sedikit yaitu sekitar 80.000 jiwa. Kedua bom ini segera menghentikan aktivitas kehidupan di kedua kota tersebut. Jepang pun bermuram atas serangan bertubi-tubi ini.
Ternyata, sudut pandang komunikasi menguak sejarah pengeboman ini dari segi yang berbeda. Pada tanggal 26 Juli 1945 pihak sekutu menyiarkan hasil Deklarasi Postdam yang menyatakan agar pihak Jepang menyerah tanpa syarat dalam Perang Dunia II. Sebagai reaksi atas deklarasi tersebut, keesokan harinya Perdana Menteri Jepang, Suzuki Kantarou, mengadakan pidato kenegaraan di radio yang disiarkan ke seluruh penjuru bumi. Pidatonya berbunyi, "Seifu wa kore o mokusatsu shi, aku made sensou kanchiku ni maishin suru." Kantor berita Domei menerjemahkan kata mokusatsu menjadi “mengabaikan”, alih-alih maknanya yang benar adalah “jangan memberi komentar sampai keputusan diambil”. Hal ini mengindikasikan bahwa penerjemah bahasa bisa mengubah opini publik dalam sekejap mata.
Suatu versi lain mengatakan bahwa Jenderal MacArthur memerintahkan anak buahnya untuk memeriksa keabsahan arti kata mokusatsu. Dia memeriksa semua daftar kata dalam kamus bahasa Jepang-Inggris yang memberi padanan kata no comment. Kemudian, MacArthur melapor kepada Presiden Truman yang memutuskan untuk menjatuhkan bom atom. Alhasil, sepuluh hari setelah Deklarasi Postdam, pemerintah Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima. Padahal, makna kata mokusatsu itu adalah “Kami akan menaati ultimatum Tuan tanpa komentar”. Ironis!
Perbedaan segi pandang tentang sejarah dunia tersebut memang semakin menggoyahkan kepercayaan kita. Awalnya, kita sudah menanamkan pemahaman bahwa pengeboman dua kota Jepang tersebut dipicu oleh aksi balas dendam. Namun, banyak versi sumber membidik kesalahan penerjemah bahasa yang dimiliki Amerika Serikat. Lantas, pengetahuan baru tersebut mengintervensi pemahaman kita yang sudah ada sebelumnya. Begitu seterusnya hingga kita tidak bisa lagi mempercayai sumber manapun. Namun, pada akhirnya karakter kepribadian mampu menjawab segalanya. Kita perlu menjaga konsistensi  berpikir kritis agar tidak mudah hanyut dalam kemajemukan informasi seperti ini.

Tidak ada komentar:

Blog Archive

Kontributor