Senin, 01 Oktober 2012

Duniaku Kelam, Tetapi Aku Harus Sekolah



Terinspirasi dari kisah perjalanan hidup Nunung Prajarto


Atap rumahku berselimut mendung. Aku bersama saudara-saudaraku yang lain terkungkung dalam penjara kemiskinan yang berlarut-larut. Kesederhanaan yang terlalu sederhana ini seakan-akan memagari kami dengan dunia-dunia luar yang ingin sekali kami sentuh. Kami tidak memiliki secuil keberanian untuk menembusnya. Pendidikan tinggi menjadi impian besar yang tak kunjung hadir. Petani menjadi satu-satunya mata pencaharian yang kami anggap paling pantas untuk didapatkan. Tidak ada pilihan lain karena kami menyadari segala sesuatunya di dunia ini haus akan materi.

Ada sesuatu yang hilang dalam diriku. Hilang dan merenggut seluruh jiwaku. Ternyata, masih ada kenyataan yang lebih pahit selain tidak bisa sekolah. Rumah ini telah kehilangan sesosok pemimpin yang selalu aku kagumi. Bapakku meninggal saat umurku dua bulan. Entah kenapa, sejak mengetahui hal itu aku merasa ‘kecil’. Aku berlindung di dalam kasih sayang nenek, orang kedua yang paling kusayang setelah bapak,  dan teman-temanku. Saking dalamnya cintaku pada nenek, sampai detik ini aku tidak mau tahu dimana letak kuburannya. Aku merasa tidak tega jika sampai melihatnya.

“Pernah mendengar pepatah seperti ini, tikus yang tersudut akhirnya menggigit juga?” tanyaku memancing perhatiannya. Dia menggelengkan kepalanya. Tetapi pertanyaan itu cukup membuat matanya berbinar lagi seakan-akan menyuruhku melanjutkan cerita.

Entah darimana datangnya semangat yang berapi-api itu. Mulai detik itu, aku ingin sekali menembus atap rumahku yang mendung. Langit-langit yang kelabu semakin lama semakin mendekat, dan akhirnya membentur kepalaku. Maka dari itu, aku harus berdiri melawannya. Sama halnya dengan yang dilakukan tikus yang tersudut. Menggigit! Aku mulai berani merajut mimpi-mimpiku. Aku ingin sekali menjadi arsitek, aku ingin masuk surga, aku ingin difoto memakai baju batik di kutub selatan, dan aku sungguh ingin memenangkan sebuah nobel kesusastraan. Khusus untuk mimpi yang terakhir, aku menciptakannya karena aku senang membaca dan pandai menulis. Aku ingin mewujudkannya satu demi satu.

Untuk mewujudkan mimpi-mimpiku, aku harus tekun belajar, memperkaya pengalaman, dan terus memperluas cakrawala pengetahuanku. Namun, aku mengerti betul keadaan ekonomi saudara-saudaraku. Sudah banyak keringat yang mereka sumbangkan bagi kehidupan dan biaya pendidikanku. Aku tidak bisa berdiam diri dan menunggu datangnya badai.  Aku harus terus berlayar.

Suatu hari, aku minggat ke Cirebon. Waktu itu, aku masih kelas tiga SD. Aku memberanikan diri kabur dari sekolahku, SD Bangundulur Jogjakarta. Tindakanku yang satu ini memang benar – benar di luar dugaan. Tapi aku tersulut lagi oleh semangat berapi-api untuk menembus awan mendung itu. Menjadi kernet bus jurusan Cirebon - Kuningan sepertinya lumayan mendatangkan uang, pikirku. Setiap hari, aku berinteraksi dengan keramaian dan kehiruk-pikukan yang luar biasa. Namun, setidaknya aku bisa menyumbangkan keringatku sendiri dan tidak semata-mata memikul keringat saudara – saudaraku.

Keringat-keringat yang kupikul di pundakku menjadi ‘akselerator maha’ dalam perjalanan memburu ilmu ini. Setamat dari salah satu SMP katolik di Jogjakarta, aku melanjutkan pelayaranku di SMA Katolik Beritu. Orang – orang mengatakan bahwa seleksi yang diterapkan sekolah ini sangat ketat. Soalnya memang susah, tetapi kenyataan kelulusanku sepertinya cukup meyakinkan banyak orang bahwa aku anak yang cerdas. Nilai yang kuraih tidak terlalu membanggakan. Angka tujuh muncul di mata pelajaran agama, dan angka enam secara merata bertebaran di mata pelajaran yang lain. Tapi aku cukup berbangga diri, karena semua itu hasil kejujuran.

Mungkin, kecerobohanku waktu itu yang tidak bisa ditolerir orang lain adalah saat tragedi penusukkan teman SMA-ku. Entah karena masalah apa, aku tidak mampu mengingatnya. Aku begitu mudah terbawa emosi dan tiba-tiba saja kutusukkan sebilah pisau ke tubuhnya. Alhasil, aku dipaksa menginap di Polsek selama dua malam. Sejenak aku membayangkan wajah-wajah sedih saudara-saudaraku, teman-temanku, dan bapakku yang berada di alam sana. Suasana hatiku mendadak emosional, begitu melankolis, dan begitu rapuh.

Menangkap kalimat terakhirku, mata bulatnya seketika membelalak lebih lebar lagi. “Kau terkejut mendengarnya?”, tanyaku sembari tertawa kecil. Lantas mulut kecilnya merespon, “Ya, aku tidak menyangka saja. Ayo ceritakan lagi”. Kemudian, aku elus rambutnya yang lembut itu beberapa kali sebelum melanjutkan cerita.

Setelah lulus dari SMA, aku melanjutkan pelayaran ke Universitas Gadjah Mada. Perahuku sempat terdampar di satu tikungan. Aku gagal menembus passing grade Teknik Arsitektur. Jalan di depanku menjadi kelabu dan perlahan menggelap. Tetapi, ada angin liar yang menghembus layarku. Mereka mengiringku keluar dari tikungan dan menunjukkan jalan baru yang lebih terang. Sebuah jalan yang akrab dengan rambu-rambu komunikasi, dunia menulis, dan buku bacaan nan menggiurkan. Sebuah jalan yang kusebut ilmu komunikasi. Semangatku mulai berapi-api lagi dan kulayarkan terus perahuku di dalamnya.  

Sejenak, aku merasakan lagi berat beban yang kupikul di pundakku. Masih banyak keringat yang belum terbayarkan. Aku belajar dengan giat dan berhasil menuntaskan kuliahku dalam waktu singkat yaitu, tiga tahun delapan bulan. Akhirnya, aku secara resmi diberi gelar Sarjana Ilmu Komunikasi di usiaku yang genap menapak 23 tahun. Tidak puas sampai di situ, perahuku terus berlayar mengarungi samudera. Pada tahun 1988 aku bekerja di UGM sebagai dosen. Gajiku hanya Rp24.000 per enam bulan.

Kedua matanya membelalak lagi. Namun, kali ini dibarengi dengan mulut yang sedikit menganga dan suara kecilnya yang khas. “Adakah materi yang bisa dibeli dengan uang sedikit itu? ”, tanyanya dengan wajah penasaran. Lalu aku menjawab dengan nada enteng, “Zaman dahulu, dengan uang Rp24.000 kita bisa membeli banyak barang.” Wajah lugunya mengingatkanku pada masa kecilku. Dia adalah refleksiku di masa lalu dan masa sekarang. Bedanya, dia jago Matematika, sedangkan aku jago menulis. Dia pernah menyabet Juara 1 Matematika se-DIY beberapa waktu yang lalu. Sebuah prestasi yang sangat kubanggakan.

Cerita selanjutnya adalah catatan prestasi menulisku yang sangat kubanggakan sampai detik ini. Pada tahun 2003, aku giat menulis cerita bersambung di harian Kompas. Honor yang kuterima waktu itu sebesar Rp3.000 per bulan. Walau jumlahnya  tidak banyak, uang tersebut mampu meringankan sedikit biaya pendidikan di jenjang S3. Pada tahun 2005, aku aktif menulis beberapa novel. Novel-novel tersebut kuadu di beberapa sayembara menulis. Sama dengan sebelumnya, alasan utamaku menulis novel saat itu adalah uang. Dengan mempraktekkan kelihaian menulisku, aku bisa mendapatkan uang. Tetapi, ada satu hal selain uang yang lebih tidak ternilai harganya. Tujuh buah mesin ketik menjadi hadiah yang sangat setimpal dengan gelar juara satu yang kuraih di sayembara menulis tingkat ASEAN.

“Hebat! Benar-benar hebat!”, ujarnya sambil bertepuk tangan. Aku hanya bisa tertawa bangga dan balas memuji keahlian matematikanya. Kami terus saling memuji hingga akhir perbincangan. Tetapi, sebelum benar-benar mengakhirinya, aku membisikkan satu kalimat di telinganya, “Duniamu boleh hitam, tapi kamu harus tetap sekolah”. Dia pun mengangguk dan memasang wajah yang seakan-akan berkata “Ya, aku akan melakukan hal yang sama seperti yang Bapak lakukan.”




Tidak ada komentar:

Blog Archive

Kontributor