Jumat, 21 September 2012

Kupas Tuntas Iklan Rokok Indonesia

Iklan-iklan rokok selalu mengincar malam hari menjelang subuh untuk memulai aksinya. Maka kita tidak perlu heran, intensitas kemunculannya di televisi meninggi mulai pukul 12 malam ke atas. Pembuat iklan sudah memperhitungkan bahwa sebagain besar orang tidak akan melakukan aktivitas apapun pada malam hari apalagi menjelang subuh. Jadi pemirsa bisa selalu menyaksikannya sambil bersantai-santai. Otomatis, iklan akan lebih mudah menyusup ke benak pemirsanya.

Pengemasan iklan rokok yang menarik dan cerita segar nan inspiratif yang disuguhkan tidak boleh lantas memagari kita untuk mengevaluasinya. Sudah menjadi tugas pemirsa di rumah untuk selalu berpikir kritis terhadap produk-produk yang sedang ditawarkan sebuah iklan. Apalagi produk tersebut nantinya ditujukan kepada kita yang akan mengkonsumsinya. Kita adalah pihak yang dirugikan jika produk yang terlanjur dikonsumsi mengandung zat-zat berbahaya. Ditambah lagi rokok yang faktanya menimbulkan efek yang tidak bersahabat dengan kesehatan kita. 

Jika kita perhatikan dengan saksama, pada akhir iklan rokok pasti muncul tulisan “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, gangguan kehamilan, dan janin.” Mungkin bagi pemirsa yang cuek, tulisan tersebut tidak berkesan apa-apa. Namun di benak pemirsa yang kritis pasti muncul perasaan kontra. Bagaimana tidak, untuk apa iklan tersebut menawarkan sebuah produk yang ‘diperingatinya’ sendiri dapat berefek kanker, dan penyakit berbahaya lainnya. Kemudian muncul lagi pertanyaan tentang tujuan semu yang sengaja disembunyikan pembuat iklan di balik pengemasannya yang menarik. Bisa saja, dengan menomorsatukan bisnisnya, pabrik rokok lantas memandang sebelah mata kesehatan konsumennya. Asal meraup untung besar, seakan-akan tidak ada hal lain yang perlu menjadi perhatian. Lantas, pada ujungnya kita patut mempertanyakan kembali peran pemerintah dalam kasus ini.

Banyaknya uluran tangan yang disumbangkan pabrik-pabrik rokok ternama tidak boleh lantas membutakan mata pemerintah Indonesia. Misalnya, PT.Djarum Indonesia  menawarkan program Djarum Bakti Pendidikan dan Djarum Bakti Olahraga yang berupa pemberian beasiswa kepada siswa berprestasi namun tidak mampu secara ekonomi atau, siswa yang berprestasi baik di bidang akademik maupun olahraga (khususnya olahraga bulu tangkis). Selain itu, Rohani Budi Prihatin, peneliti dari Pusat Pengkajian, Pengelolaan Data dan Informasi (P3DI) sekaligus pengurus Komisi Nasional Pengendalian Tembakau di Jakarta mengungkapkan bahwa cukai rokok yang masuk ke APBN pemerintah sekitar Rp40 hingga Rp55 triliun. Dengan mempertimbangkan keuntungan yang besar ini tentu pemerintah merasa enggan meminimalkan keberadaan rokok di Indonesia. Di kesempatan inilah, pemerintah seharusnya menunjukkan ketegasan dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan.

Beberapa lembaga konsumen sudah memprotes ketidakefektifan sikap pemerintah dalam menangani iklan rokok yang kontroversial ini. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), yang diwakilkan Tulus Abadi pernah menyinggung pemerintah tentang aksi dan peringatan melarang merokok yang sering digembar-gemborkan melalui media. Itu berarti masyarakat diminta untuk mengurangi konsumsi atau bahkan meninggalkan rokok, tetapi di sisi lain banyak iklan rokok yang sangat gencar ditayangkan. “Kalau memang berbahaya mengapa harus diiklankan?” ungkap Tulus. Intinya, Tulus menilai pemerintah masih kebingungan dalam mengusut tuntas kontroversi ini. 

Kritikan lanjutan yang diterima pemerintah Indonesia dilontarkan oleh ahli dan pemerhati kesehatan masyarakat. Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof.dr. Hasbullah Tabrany, MPH mengatakan bahwa Indonesia sangat jauh tertinggal dari negara lain seperti Malaysia dan Singapura dalam hal pengendalian rokok dan tembakau. Bahkan di Australia, produk rokok dijual tanpa menyertakan merek. Koordinator Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dr.Soewarta Kosen, MPH dalam kesempatan yang sama menambahkan, dalam pembahasan RPP pun masih alot soal pengaturan iklan rokok. "Baliho besar iklan rokok itu hanya terjadi di Indonesia. Dalam RPP kemarin saja, mereka mau ukurannya 70 meter persegi. Itu kan sangat luas," ujarnya. Fakta ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia masih menemukan jalan buntu dalam menyelesaikan perdebatan iklan rokok.

Kita sebagai pihak konsumen seharusnya berpikir kritis terhadap iklan rokok tersebut. Jangan hanya menunggu respon dari pemerintah. Kontroversi iklan rokok tanpa muara seperti ini tentu semakin mencekik psikologis konsumen yang berada di tengah-tengahnya. Apalagi melihat iklan rokok dan upaya pencegahaanya yang sangat bertolak belakang. Tentu akan membingungkan kita sebagai pihak konsumen. Melihat kenyataan yang ironis tentang iklan rokok tersebut, seharusnya kita berpikir dua sampai tiga kali. Pada akhirnya dengan pertimbangan yang matang, kita mampu menyaring informasi yang baik dan benar-benar berguna bagi kelangsungan hidup. Jadi, mulai sekarang budayakanlah berpikir kritis terhadap semua fenomena sosial yang ada di sekitar kita termasuk iklan.#BRIDGING COURSE 05

Ni Ketut Dimar Warsihantari


Daftar Pustaka

Ririh,Natalia. Peringatan di Bungkus Rokok Masih Sulit. Diakses dari http://health.kompas.com/read/2012/09/17/15000126/Peringatan.Bergambar.di.Bungkus.Rokok.Masih.Sulit pada tanggal 18 September 2012.

Tim Redaksi Modern. Kontroversi Iklan Rokok. Diakses dari http://desamodern.com/index.php/read/news/view/371/Kontroversi-Iklan-Rokok pada tanggal 18 September 2012.

Normansyah. Peringatan Pada Bungkus Rokok Dengan Tulisan Tidak Efektif.Diakses dari http://www.fakta.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=191:peringatan-pada-bungkus-rokok-dengan-tulisan-tidak-efektif&catid=36:siaran-pers&Itemid=87 pada tanggal 18 September 2012.

Rahadian, Dimas. CSR Perusahaan Rokok Indonesia. Diakses dari http://rahadiandimas.staff.uns.ac.id/?p=755  pada tanggal 21 September 2012.

Tidak ada komentar:

Blog Archive

Kontributor