Kamis, 12 Desember 2013

Menebas Tiang-Tiang Pembatas Mimpi



Judul                             : Indonesia Mengajar
Jumlah Halaman           : 322 halaman
ISBN                            : 978-602-8811-57-6
Penyunting                    : Ikhdah Henny dan Retno Widyastuti
Penerbit                         : Penerbit Bentang
Cetakan pertama           : November 2011

Wacana-wacana masyarakat Indonesia sering diserbu berita kemenangan besar generasi muda dalam kompetisi internasional. Bangsa Indonesia boleh sedikit mengangkat dagu karena ribuan torehan medali yang disumbangkan anak didiknya. Mulai dari medali emas, perak, perunggu hingga inovasi teknologi meraih penghargaan dunia. Namun tidak banyak tulisan yang mencatat kisah perjuangan sukarelawan muda dalam pemberantasan penyakit kronis pelosok negeri yaitu kemiskinan pendidikan. Salah satu buku yang sukses menyahut janji kemerdekaan Indonesia dalam bidang pendidikan adalah Indonesia Mengajar.
Senada dengan judulnya, buku ini berbicara tentang perjuangan 51 pengajar muda yang berusaha menebas tiang-tiang pembatas mimpi siswa SD di berbagai pelosok negeri. Promotor-promotor pendidikan itu memilih untuk mengabdi pada negara daripada meniti karir di perusahaan ataupun intansi yang notabenenya makmur gaji. Mereka adalah sarjana muda terpilih dari berbagai jurusan dan daerah yang  simpati terhadap ironisme pendidikan Indonesia. Wajah lain pendidikan Indonesia ternyata masih memerlukan uluran tangan para tenaga terdidik. Tagline “Mendidik adalah kewajiban orang terdidik” tercermin dalam setiap kisah yang dicatat oleh para pengajar muda dalam buku ini.
Indonesia Mengajar mengelompokkan kisah-kisahnya menjadi empat subtema. Subtema pertama diberi judul Anak-Anak Didik Pengajar Muda. Setelah itu dilanjutkan dengan subtema Memupuk Optimisme, Belajar Rendah Hati, dan  Ketulusan Itu Menular. Pembaca akan disuguhkan kisah-kisah inspiratif dan menarik dari keempat subtema itu. Bukan hanya tentang keadaan siswa didiknya namun juga relasi pengajar muda dengan lingkungan baru mereka yang mengundang tawa, tangis, dan decak kagum pembacanya.
Terlepas dari apapun bentuknya, setiap wacana pasti memiliki kekuatan dan kelemahan. Kekuatan buku ini muncul dari empat aspek. Empat aspek tersebut tampak pada sampul buku, kebaruan (orisinalitas) cerita, karakter tulisan, dan nilai guna buku. Sedangkan kelemahannya terletak pada bahasa penulisan, tata letak ilustrasi data, dan keterpaduan cerita dengan subtema.
Sampul buku ini sukses menarik perhatian pembaca untuk pertama kali. Gambar Anies Baswedan dan beberapa siswa berpakaian merah putih representatif dengan isi buku yang disuguhkan. Rumah kayu di atas genangan air laut dan dua orang pengajar muda yang muncul dari dalamnya semakin menguatkan esensi tulisan Indonesia Mengajar. Perpaduan warna hijau dan kuning yang ditampilkan menimbulkan kesan bersahaja namun tetap menggugah minat membaca.
Selain itu, nilai kebaruan (orisinalitas) yang ditawarkan menyeret rasa ingin tahu yang besar untuk membacanya. Buku ini meluncur di tengah-tengah dengungan Gerakan Indonesia Mengajar yang diketuai oleh Anies Baswedan. Wacana yang hangat tentu menjadi incaran semua maniak buku. Masyarakat cenderung ingin tahu topik yang sedang hangat dibicarakan dibanding wacana yang sudah basi.
Variasi karakter tulisan yang disuguhkan sukses menjerat bola mata pembaca untuk kedua kalinya. Kisah yang dibuat Saktiana Dwi Hastuti, pengajar muda dari Jurusan Sastra Indonesia terasa lebih mengalir. Misalnya Bangunnya Keke dari Mati Suri dan Dari Belut Turun Ke Hati menyajikan logika penulisan yang mudah diikuti dari hulu hingga hilir tulisan. Beberapa tulisan yang ringan dan sarat  tawa muncul pada kisah Mas Guru Punya Cerita:The Little Monsters, Tepuk Nyamuk dan Anak Berbahasa Angka. Berbeda halnya dengan Zaki Laili Khusna, pengajar muda dari Fakultas Psikologi yang serius mengupas kondisi psikologis siswanya dalam Maya Ngambek Lagi. Selain itu Ibu, Pelanggaran! karya Nisa Rachmatika memiliki nuansa paling unik karena dia satu-satunya pengajar muda yang sangat menikmati kekacauan dan keliaran anak-anak di Muda Majene.
Sembari menghanyutkan atensi pembaca pada karakter tulisan, buku ini menyuntikkan manfaat dan nilai guna yang tinggi. Kemunculan 51 pengajar muda yang mengemban misi besar kemerdekaan pendidikan sangat menginspirasi banyak orang. Mereka sadar bahwa anak-anak di pelosok negeri juga berhak mengenyam kenikmatan pendidikan. Setiap desa ternyata menyimpan bibit-bibit emas yang tidak kalah dengan pelajar kota. Rekonstruksi cerita tentang anak-anak pedalaman dan relasi pengajar muda dengan lingkungan secara tidak langsung menanamkan pada kita bahwa empati, optimisme, keikhlasan, ketulusan, dan rendah hati adalah cerminan paling dasar dari sebuah pendidikan.
Sayangnya, bahasa penulisan masih belum bisa disebut sempurna. Pada kisah pertama Rizki, My Genius Student terdapat inkonsistensi penggunaan kata saya. Di awal cerita, penulis menyebut dirinya saya namun dari bagian tengah hingga akhir, kemunculan kata aku tentu membingungkan pembaca. Penggunaan bahasa Inggris yang dicampuradukkan dengan bahasa Indonesia yang muncul di beberapa sudut tulisan menimbulkan kesan ketidakbakuan. Misalnya dalam tulisan Membaca Indonesia Raya terdapat kalimat Just wanna say to everyone in this world bahwa jika hari ini.... dan Membayangkan papa-indoq, ayah ibu hostfam-ku yang bakal senyum.... Selain itu, pada tulisan Pintu Tambak And The World Economy muncul juga kalimat What fascinates me the most adalah kerja tersebut.... Bahasa penulisan tersebut wajar muncul karena buku ini adalah hasil adaptasi dari blog walaupun sudah disunting sebelumnya.
Tata letak ilustrasi data terasa kurang efektif. Beberapa tulisan dilengkapi dengan foto-foto dokumentasi namun kebanyakan tidak. Selain itu, data informasi berupa peta penempatan pengajar muda terpisah jauh dengan tulisan terkait. Pembaca akan terlalu sibuk membolak-balikkan kertas untuk mencari informasi lokasi pengajar muda karena letaknya di akhir buku. Seharusnya catatan kaki pada awal tulisan memuat data lokasi dengan sangat detail sehingga pembaca mudah membayangkannya.
Jika pembaca mempertahankan fokusnya dari awal hingga akhir, mereka akan menemukan segelintir ketidaksesuaian cerita dengan subtema buku ini. Misalnya kisah Sekolah Tanpa Nama hadir dalam subtema Ketulusan Itu Menular. Kisah ini semata-mata hanya mendeskripsikan kondisi masyarakat dan sebuah sekolah yang tidak beridentitas di kawasan Moro Seneng. Nilai-nilai ketulusan tidak menjadi benang merah dalam kisah ini.

Terlepas dari kelemahan yang dimilikinya, Indonesia Mengajar sangat layak dikonsumsi oleh masyarakat. Buku ini berani unjuk gigi dan menginspirasi generasi muda terdidik. Buku ini juga yang menyadarkan kita bahwa masih ada wajah muda yang optimis mewujudkan kemerdekaan pendidikan di Indonesia. Pendidikan menjadi hak kemerdekaan semua orang dan mendidik bukan lagi sekadar profesi yang menekankan profit oriented. Mendidik adalah tanggungjawab mulia yang melekat pada lulusan sekolah manapun. Mendidik adalah kewajiban orang-orang terdidik. 

Tidak ada komentar:

Blog Archive

Kontributor