Terinspirasi dari kisah perjalanan hidup Nunung Prajarto
Atap rumahku berselimut mendung. Aku bersama saudara-saudaraku
yang lain terkungkung dalam penjara kemiskinan yang berlarut-larut.
Kesederhanaan yang terlalu sederhana ini seakan-akan memagari kami dengan
dunia-dunia luar yang ingin sekali kami sentuh. Kami tidak memiliki secuil keberanian
untuk menembusnya. Pendidikan tinggi menjadi impian besar yang tak kunjung
hadir. Petani menjadi satu-satunya mata pencaharian yang kami anggap paling
pantas untuk didapatkan. Tidak ada pilihan lain karena kami menyadari segala
sesuatunya di dunia ini haus akan materi.
Ada sesuatu yang hilang dalam diriku. Hilang dan
merenggut seluruh jiwaku. Ternyata, masih ada kenyataan yang lebih pahit selain
tidak bisa sekolah. Rumah ini telah kehilangan sesosok pemimpin yang selalu aku
kagumi. Bapakku meninggal saat umurku dua bulan. Entah kenapa, sejak mengetahui
hal itu aku merasa ‘kecil’. Aku berlindung di dalam kasih sayang nenek, orang
kedua yang paling kusayang setelah bapak,
dan teman-temanku. Saking dalamnya cintaku pada nenek, sampai detik ini
aku tidak mau tahu dimana letak kuburannya. Aku merasa tidak tega jika sampai
melihatnya.
“Pernah mendengar pepatah seperti ini, tikus yang tersudut akhirnya menggigit juga?”
tanyaku memancing perhatiannya. Dia menggelengkan kepalanya. Tetapi pertanyaan
itu cukup membuat matanya berbinar lagi seakan-akan menyuruhku melanjutkan
cerita.
Entah darimana datangnya semangat yang berapi-api itu. Mulai
detik itu, aku ingin sekali menembus atap rumahku yang mendung. Langit-langit
yang kelabu semakin lama semakin mendekat, dan akhirnya membentur kepalaku.
Maka dari itu, aku harus berdiri melawannya. Sama halnya dengan yang dilakukan
tikus yang tersudut. Menggigit! Aku mulai berani merajut mimpi-mimpiku. Aku
ingin sekali menjadi arsitek, aku ingin masuk surga, aku ingin difoto memakai
baju batik di kutub selatan, dan aku sungguh ingin memenangkan sebuah nobel
kesusastraan. Khusus untuk mimpi yang terakhir, aku menciptakannya karena aku
senang membaca dan pandai menulis. Aku ingin mewujudkannya satu demi satu.
Untuk mewujudkan mimpi-mimpiku, aku harus tekun belajar,
memperkaya pengalaman, dan terus memperluas cakrawala pengetahuanku. Namun, aku
mengerti betul keadaan ekonomi saudara-saudaraku. Sudah banyak keringat yang
mereka sumbangkan bagi kehidupan dan biaya pendidikanku. Aku tidak bisa berdiam
diri dan menunggu datangnya badai. Aku
harus terus berlayar.
Suatu hari, aku minggat ke Cirebon. Waktu itu, aku masih
kelas tiga SD. Aku memberanikan diri kabur dari sekolahku, SD Bangundulur
Jogjakarta. Tindakanku yang satu ini memang benar – benar di luar dugaan. Tapi
aku tersulut lagi oleh semangat berapi-api untuk menembus awan mendung itu.
Menjadi kernet bus jurusan Cirebon - Kuningan sepertinya lumayan mendatangkan
uang, pikirku. Setiap hari, aku berinteraksi dengan keramaian dan kehiruk-pikukan
yang luar biasa. Namun, setidaknya aku bisa menyumbangkan keringatku sendiri
dan tidak semata-mata memikul keringat saudara – saudaraku.
Keringat-keringat yang kupikul di pundakku menjadi
‘akselerator maha’ dalam perjalanan memburu ilmu ini. Setamat dari salah satu
SMP katolik di Jogjakarta, aku melanjutkan pelayaranku di SMA Katolik Beritu. Orang
– orang mengatakan bahwa seleksi yang diterapkan sekolah ini sangat ketat.
Soalnya memang susah, tetapi kenyataan kelulusanku sepertinya cukup meyakinkan
banyak orang bahwa aku anak yang cerdas. Nilai yang kuraih tidak terlalu
membanggakan. Angka tujuh muncul di mata pelajaran agama, dan angka enam secara
merata bertebaran di mata pelajaran yang lain. Tapi aku cukup berbangga diri,
karena semua itu hasil kejujuran.
Mungkin, kecerobohanku waktu itu yang tidak bisa ditolerir
orang lain adalah saat tragedi penusukkan teman SMA-ku. Entah karena masalah
apa, aku tidak mampu mengingatnya. Aku begitu mudah terbawa emosi dan tiba-tiba
saja kutusukkan sebilah pisau ke tubuhnya. Alhasil, aku dipaksa menginap di
Polsek selama dua malam. Sejenak aku membayangkan wajah-wajah sedih
saudara-saudaraku, teman-temanku, dan bapakku yang berada di alam sana. Suasana
hatiku mendadak emosional, begitu melankolis, dan begitu rapuh.
Menangkap kalimat terakhirku, mata bulatnya seketika
membelalak lebih lebar lagi. “Kau terkejut mendengarnya?”, tanyaku sembari
tertawa kecil. Lantas mulut kecilnya merespon, “Ya, aku tidak menyangka saja.
Ayo ceritakan lagi”. Kemudian, aku elus rambutnya yang lembut itu beberapa kali
sebelum melanjutkan cerita.
Setelah
lulus dari SMA, aku melanjutkan pelayaran ke Universitas Gadjah Mada. Perahuku
sempat terdampar di satu tikungan. Aku gagal menembus passing grade Teknik Arsitektur. Jalan di depanku menjadi kelabu
dan perlahan menggelap. Tetapi, ada angin liar yang menghembus layarku. Mereka
mengiringku keluar dari tikungan dan menunjukkan jalan baru yang lebih terang.
Sebuah jalan yang akrab dengan rambu-rambu komunikasi, dunia menulis, dan buku
bacaan nan menggiurkan. Sebuah jalan yang kusebut ilmu komunikasi. Semangatku
mulai berapi-api lagi dan kulayarkan terus perahuku di dalamnya.
Sejenak,
aku merasakan lagi berat beban yang kupikul di pundakku. Masih banyak keringat
yang belum terbayarkan. Aku belajar dengan giat dan berhasil menuntaskan
kuliahku dalam waktu singkat yaitu, tiga tahun delapan bulan. Akhirnya, aku
secara resmi diberi gelar Sarjana Ilmu Komunikasi di usiaku yang genap menapak
23 tahun. Tidak puas sampai di situ, perahuku terus berlayar mengarungi
samudera. Pada tahun 1988 aku bekerja di UGM sebagai dosen. Gajiku hanya
Rp24.000 per enam bulan.
Kedua
matanya membelalak lagi. Namun, kali ini dibarengi dengan mulut yang sedikit
menganga dan suara kecilnya yang khas. “Adakah materi yang bisa dibeli dengan
uang sedikit itu? ”, tanyanya dengan wajah penasaran. Lalu aku menjawab dengan
nada enteng, “Zaman dahulu, dengan uang Rp24.000 kita bisa membeli banyak
barang.” Wajah lugunya mengingatkanku pada masa kecilku. Dia adalah refleksiku
di masa lalu dan masa sekarang. Bedanya, dia jago Matematika, sedangkan aku
jago menulis. Dia pernah menyabet Juara 1 Matematika se-DIY beberapa waktu yang
lalu. Sebuah prestasi yang sangat kubanggakan.
Cerita
selanjutnya adalah catatan prestasi menulisku yang sangat kubanggakan sampai
detik ini. Pada tahun 2003, aku giat menulis cerita bersambung di harian Kompas. Honor yang kuterima waktu itu
sebesar Rp3.000 per bulan. Walau jumlahnya
tidak banyak, uang tersebut mampu meringankan sedikit biaya pendidikan
di jenjang S3. Pada tahun 2005, aku aktif menulis beberapa novel. Novel-novel
tersebut kuadu di beberapa sayembara menulis. Sama dengan sebelumnya, alasan
utamaku menulis novel saat itu adalah uang. Dengan mempraktekkan kelihaian
menulisku, aku bisa mendapatkan uang. Tetapi, ada satu hal selain uang yang
lebih tidak ternilai harganya. Tujuh buah mesin ketik menjadi hadiah yang
sangat setimpal dengan gelar juara satu yang kuraih di sayembara menulis
tingkat ASEAN.
“Hebat!
Benar-benar hebat!”, ujarnya sambil bertepuk tangan. Aku hanya bisa tertawa
bangga dan balas memuji keahlian matematikanya. Kami terus saling memuji hingga
akhir perbincangan. Tetapi, sebelum benar-benar mengakhirinya, aku membisikkan
satu kalimat di telinganya, “Duniamu boleh hitam, tapi kamu harus tetap
sekolah”. Dia pun mengangguk dan memasang wajah yang seakan-akan berkata “Ya,
aku akan melakukan hal yang sama seperti yang Bapak lakukan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar