Aku sering memanggilnya Cak Mul. Topi abu-abunya selalu berhasil melayangkan lamunanku pada
pemain saxophone di layar televisi. Kaca
mata bulatnya sama antiknya dengan milik Harry
Potter dalam seri The Chamber of
Secret hingga The Deathly Hallows.
Tidak ada yang spesial dengan baju dan celana panjangnya. Namun, ujung
sepatunya yang sedikit melancip ke atas mengingatkanku pada para cowboy Texas. “Khas sekali”, batinku
dalam hati.
Anehnya, keberadaannya lumayan mengusik batinku. Ini
adalah sebuah dilema. Aku terpesona oleh wawasan sejarah yang dimilikinya
walaupun pada akhirnya kepercayaan diriku hidup dan padam bergantian. Aku
adalah anak yang sangat percaya diri. Dulu aku sering kebanjiran pujian karena
nilai Sejarah yang selalu di atas sembilan. Padam karena aku merasa agak
termarjinalkan oleh keluwesan pengetahuan sejarah yang dimilikinya.
***
Ini kali pertama kuliahku. Ruang kelas kuliah berbeda
dengan ruang kelas semasa SMA. Tapi aku senang. Itu artinya aku bisa mengisi
ruang-ruang kosong di otakku dengan berbagai macam kebenaran lagi. Aku senang
menyimpan fakta-fakta yang disajikan guru SMA ku sebagai kebenaran. Dan
kebenaran-kebenaran itu sudah kokoh.
Lamunanku semasa SMA tiba-tiba buyar ketika Cak Mul melemparkan pertanyaan kepada
Izki, teman baruku.
“Tahun berapa Perang Diponegoro meletus?”
“Ga tau Cak”,
jawab Izki malu-malu. Dia selalu tertawa kecil sembari menggaruk kepalanya
ketika tidak mampu menjawab pertanyaan dosen.
Kemudian Cak Mul menunjuk anak
lainnya. Begitu seterusnya.
Pertanyaan sederhana tetapi mereka yang bahkan lebih
banyak dibekali pengetahuan sosial kesulitan berkata-kata. Semua anak yang
ditunjuknya satu per satu menggelengkan kepala. Beberapa dari mereka sibuk
saling tanya. Jantungku mulai berdegup kencang. Mudah-mudahan jarinya mengacung
ke arahku. (Supaya semua orang termasuk dosenku tahu seberapa besar kekaguman
dan memoriku tentang sejarah Indonesia). Dia boleh bertanya padaku tentang
persamaan reaksi, sistem peredaran darah manusia, atau apapun tentang pertidaksamaan
aljabar. Tentang sejarah? Tentu melebihi apapun.
Jarinya tidak juga bergerak ke arahku. Sembari berharap
aku membiarkan bibirku membentuk sebuah jawaban tapi ku tahan volumenya. “1825”
desisku. Sampai tiga kali ku mendesis tapi Cak
Mul tetap memaksa Adri untuk menjawab. Ah..percuma, tidak seorang pun bisa
memaksanya untuk membuka mulut. Tampan tapi sayang pemalu kelas berat.
“Tahun 1825. Apa saja yang kalian dapat waktu SMA?
Yaampun...”, keluh Cak Mul.
Aku melengos kesal. Tapi senang karena aku benar.
“Lalu apa pemicu utama meledaknya Perang Diponegoro?”
Lagi-lagi semua penghuni ruang 103 ini menutup mulut. Bola-bola
mata itu saling tubruk. Mereka seolah-olah berbicara, “Aku tidak tahu. Kau
bagaimana?”
“Karena Pangeran Diponegoro tidak terima makam leluhurnya
dilanggar oleh pembangunan jalan pemerintah!”, aku menjawab dengan lantang. Tidak
tahan lamanya aku ditunjuk olehnya. Dan kali ini aku bangga dengan diriku. Saat
ini semua teman dan dosen ini pasti akan mengagumi kepintaranku dalam sejarah.
“Itu jawaban standar”, komentarnya seakan merubuhkan
nilai 9 untuk mata pelajaran sejarah di raportku. “Standar?” pekikku dalam
hati. Jika saja dia bertemu guru sejarah SMA-ku pastilah dia sudah habis.
“Siapa tahu Perang
Diponegoro terjadi karena siasat adu domba Belanda dan bukan sebab amarah
semata. Kalian harus tahu satu hal. Buku-buku sejarah yang kita dapat waktu SD
adalah rekonstruksi pemerintah Belanda. Sejarah kita ditulis oleh tangan-tangan
penjajah kemudian cetakannya dibawa ke Indonesia. Jangan-jangan mereka sengaja
menanamkan realita yang salah pada kita selama ini”, jelasnya panjang lebar.
Semua anak terlihat mengangguk yang berarti menyetujui
pernyataan Cak Mul. Aku menganggapnya janggal.
“Kalian menganggap Dracula punya taring panjang,
menggigit manusia untuk diminum darahnya, bukan?”, Cak Mul bertanya.
Halah....Seperti biasa, dia terlalu cepat mengubah topik
pembicaraan. Hati dan pikiranku belum selesai berontak. Aku masih ingin sekali memprotes
argumennya tentang jawabanku yang standar. Darimana pula dia yakin bahwa cerita
Perang Diponegoro adalah rekonstruksi tangan Belanda? Aku seratus persen tidak
yakin karena dia tidak pernah sekali pun menyebutkan sumber atau referensi yang
valid.
Tetapi, setelah mendengar kata Dracula aku sedikit melumer. “Ada apa dengan Dracula?”, pikirku.
Dia hafal betul kerutan-kerutan dahi itu mengisyaratkan
kebingungan. Dracula tidak pernah
didiskusikan dalam pelajaran sejarah waktu SMA. Setelah melihat wajah kami yang
linglung, akhirnya Cak Mul menyerah.
Kali ini mungkin dia sudah bosan menunjuk karena kami lama tidak memberi feed back.
“Semua itu bermula dari Perang Salib. Ada anak kaisar
yang jatuh cinta pada seorang putri. Suatu hari, anak kaisar itu ditugaskan
oleh kerajaan untuk berperang membela gereja. Saat kembali ke kerajaan dan
membawa kemenangan, tidak disangka kaisar memperisitri putri. Sejak saat itu,
anak kaisar mulai membenci kebaikan. Dia membunuh satu per satu orang-orang di
sekitarnya abhkan yang baik sekalipun. Dialah yang sering disebut dracula. Jadi, hilangkan deksripsi
kalian tentang sosok dracula bertaring
tajam yang suka minum darah”, ungkapnya sembari menyelipkan tangan kanan ke
saku celana panjangnya.
Pintar sekali! Kali ini aku memang tidak memiliki secuil
pun sejarah Dracula. Dengan amat
berat hati, aku benar-benar dibuatnya bergeming.
“Jangan mudah percaya dengan apapun. Selalu pertanyakan
apa yang kalian anggap benar selama ini!”, imbuhnya.
***
Empat bulan berlalu, titik balik itu benar-benar muncul.
Sepertinya, batin sudah lelah bersitegang dengan pikiran-pikiran anehnya yang
tidak aku mengerti. Ya Tuhan.. ceritanya membuatku konyol. Benda asing itu
mengombang-ambingkan pijakanku. Posisiku lemah sekarang.
“Mengapa setangkai bunga mawar merah yang utuh selalu
melambangkan cinta? Mengapa bukan bunga mawar putih? Atau mengapa bunga mawar
yang kelopaknya telah terlepas tidak bisa lagi menjadi lambang cinta”, batinku
dalam hati. Ya, ku pastikan dia semakin mengobrak-abrik kebenaran-kebenaran
yang aku yakini selama ini.
Betul. Lalu mengapa mawar merah. Tidak bisakah bunga yang
lain? Ah...kini aku seharusnya juga tidak meyakini langsung kebenaran yang
diucapkan orang lain. Siapa pun itu dan apa yang diyakininya adalah
ketidakpastian.
***
Pagi ini Cak Mul
terlihat berbeda dengan minggu-minggu sebelumnya. Jaket berkantung itu lebih
keren menempel di tubuhnya yang tinggi jangkung. Saat berbicara, dia gemar
menyelipkan tangan ke kantung jaket itu. Bukan lagi ke kantong celana
panjangnya yang abu-abu.
Ia memulai kuliah. Kali ini tanpa bertanya terlebih
dahulu, ia memaparkan sejarah kemerdekaan Indonesia. Dengan suara merdu dan
gayanya yang selangit, dia mulai membuka mulut.
“Pada waktu itu, bangsa Indonesia yang diwakilkan
Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaaan Indonesia. Tapi tahukah
kalian, sebenarnya itu terjadi karena Jepang dibombardir oleh Amerika Serikat?
Jangan mudah percaya dengan cerita-cerita di buku atau siapapun!” Cak Mul berkata dengan yakinnya.
Benar. Siapa tahu Jepang sengaja melepaskan Indonesia
karena kotanya diluluhlantakkan oleh Amerika Serikat, pikirku. Kemudian, dia
segera membahas topik baru lagi.
“Kenapa orang Papua menutupi kemaluannya dengan koteka?
Kenapa bukan bagian pantat atau kepala yang ditutupi? Lalu kenapa wanita Bali
zaman dahulu percaya diri memperlihatkan payudaranya? Kenapa pula mereka
memilih untuk menutupi pinggang hingga mata kaki dengan kain? Pantat dan
payudara juga punya hak untuk ditutupi. Munculkan pertanyaan semacam itu!”
Seisi kelas mengangguk, termasuk aku. Kali ini aku mulai
terbiasa. Tidak ada yang salah. Kita bebas mempertanyakan sesuatu dan tidak
mendapatkan jawaban. Itu artinya aku hilang pijakan.
Semenit kemudian dia mengganti bahan pembicaraan lagi.
“Kalian harus tahu kalau sebenarnya Imam Bonjol hanya
duduk-duduk tenang di teras rumahnya saat Perang Paderi meletus”, lirikan
matanya menghantamku.
“Saya ingin kalian menjadi orang kritis! Sekarang
tanyakan pada saya sejarah apa yang kalian ragukan!”, ucapnya dengan mimik
serius.
Hatiku mulai tersentil. Perlahan-lahan Cak Mul mulai kesal karena tidak satu pun
dari kami yang mengomentari pernyataannya. Semenjak aku meredup, kelas ini
seperti kota mati. Dosen berbicara, mahasiswanya membisu.
“Oke! Tanyakan pada saya hal apa saja yang membuat kalian
resah!”, nadanya meninggi. Langkahnya mendekat ke tempat dudukku. Di balik kaca
matanya yang bening ada tatapan jengis mengarah padaku.
Aku sempat menatapnya selama lima detik. Namun kali ini
dengan tatapan kosong dan tidak bergairah. Tidak seperti biasanya. Mulutku
lemah lembut bertanya.
“Cak, bolehkan
saya tidak percaya dengan cerita Anda?”
Ekspresi wajahnya mengkerut. Tidak ada respon apapun. Dia
terlihat agak marah. Bukan! Dia nampak masih shock dan kebingungan.
“Anda bilang seorang mahasiswa tidak boleh mudah percaya
dengan siapapun dan hal apapun. Itu artinya saya berhak menaruh ragu pada Anda
kan Cak ?”, tanyaku dengan mata sayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar