Iklan-iklan rokok selalu mengincar malam hari menjelang subuh
untuk memulai aksinya. Maka kita tidak perlu heran, intensitas kemunculannya di
televisi meninggi mulai pukul 12 malam ke atas. Pembuat iklan sudah
memperhitungkan bahwa sebagain besar orang tidak akan melakukan aktivitas
apapun pada malam hari apalagi menjelang subuh. Jadi pemirsa bisa selalu
menyaksikannya sambil bersantai-santai. Otomatis, iklan akan lebih mudah
menyusup ke benak pemirsanya.
Pengemasan iklan rokok yang menarik dan cerita segar nan
inspiratif yang disuguhkan tidak boleh lantas memagari kita untuk
mengevaluasinya. Sudah menjadi tugas pemirsa di rumah untuk selalu berpikir
kritis terhadap produk-produk yang sedang ditawarkan sebuah iklan. Apalagi
produk tersebut nantinya ditujukan kepada kita yang akan mengkonsumsinya. Kita
adalah pihak yang dirugikan jika produk yang terlanjur dikonsumsi mengandung
zat-zat berbahaya. Ditambah lagi rokok yang faktanya menimbulkan efek yang
tidak bersahabat dengan kesehatan kita.
Jika kita perhatikan dengan saksama, pada akhir iklan
rokok pasti muncul tulisan “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung,
impotensi, gangguan kehamilan, dan janin.” Mungkin bagi pemirsa yang cuek, tulisan tersebut tidak berkesan
apa-apa. Namun di benak pemirsa yang kritis pasti muncul perasaan kontra.
Bagaimana tidak, untuk apa iklan tersebut menawarkan sebuah produk yang ‘diperingatinya’
sendiri dapat berefek kanker, dan penyakit berbahaya lainnya. Kemudian muncul
lagi pertanyaan tentang tujuan semu yang sengaja disembunyikan pembuat iklan di
balik pengemasannya yang menarik. Bisa saja, dengan menomorsatukan bisnisnya,
pabrik rokok lantas memandang sebelah mata kesehatan konsumennya. Asal meraup
untung besar, seakan-akan tidak ada hal lain yang perlu menjadi perhatian.
Lantas, pada ujungnya kita patut mempertanyakan kembali peran pemerintah dalam
kasus ini.
Banyaknya
uluran tangan yang disumbangkan pabrik-pabrik rokok ternama tidak boleh lantas
membutakan mata pemerintah Indonesia. Misalnya, PT.Djarum Indonesia menawarkan program Djarum Bakti Pendidikan dan
Djarum Bakti Olahraga yang berupa pemberian beasiswa kepada siswa berprestasi
namun tidak mampu secara ekonomi atau, siswa yang berprestasi baik di bidang
akademik maupun olahraga (khususnya olahraga bulu tangkis). Selain itu, Rohani
Budi Prihatin, peneliti dari Pusat Pengkajian, Pengelolaan Data dan Informasi
(P3DI) sekaligus pengurus Komisi Nasional Pengendalian Tembakau di Jakarta
mengungkapkan bahwa cukai rokok yang masuk ke APBN pemerintah sekitar Rp40 hingga
Rp55 triliun. Dengan mempertimbangkan keuntungan yang besar ini tentu
pemerintah merasa enggan meminimalkan keberadaan rokok di Indonesia. Di
kesempatan inilah, pemerintah seharusnya menunjukkan ketegasan dan
kebijaksanaan dalam mengambil keputusan.
Beberapa lembaga konsumen sudah memprotes
ketidakefektifan sikap pemerintah dalam menangani iklan rokok yang kontroversial
ini. Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), yang diwakilkan Tulus Abadi pernah
menyinggung pemerintah tentang aksi dan peringatan melarang merokok yang sering
digembar-gemborkan melalui media. Itu berarti masyarakat diminta untuk mengurangi
konsumsi atau bahkan meninggalkan rokok, tetapi di sisi lain banyak iklan rokok
yang sangat gencar ditayangkan. “Kalau memang berbahaya mengapa harus
diiklankan?” ungkap Tulus. Intinya, Tulus menilai pemerintah
masih kebingungan dalam mengusut
tuntas kontroversi ini.
Kritikan
lanjutan yang diterima pemerintah Indonesia dilontarkan oleh ahli dan pemerhati
kesehatan masyarakat. Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia, Prof.dr. Hasbullah Tabrany, MPH mengatakan bahwa Indonesia sangat
jauh tertinggal dari negara lain seperti Malaysia dan Singapura dalam hal
pengendalian rokok dan tembakau. Bahkan di Australia, produk rokok dijual tanpa
menyertakan merek. Koordinator Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, dr.Soewarta Kosen, MPH dalam kesempatan yang sama
menambahkan, dalam pembahasan RPP pun masih alot soal pengaturan iklan rokok.
"Baliho besar iklan rokok itu hanya terjadi di Indonesia. Dalam RPP
kemarin saja, mereka mau ukurannya 70 meter persegi. Itu kan sangat luas,"
ujarnya. Fakta ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia masih menemukan jalan
buntu dalam menyelesaikan perdebatan iklan rokok.
Kita sebagai
pihak konsumen seharusnya berpikir kritis terhadap iklan rokok tersebut. Jangan
hanya menunggu respon dari pemerintah. Kontroversi iklan rokok tanpa muara
seperti ini tentu semakin mencekik psikologis konsumen yang berada di
tengah-tengahnya. Apalagi melihat iklan rokok dan upaya pencegahaanya yang
sangat bertolak belakang. Tentu akan membingungkan kita sebagai pihak konsumen.
Melihat kenyataan yang ironis tentang iklan rokok tersebut, seharusnya kita
berpikir dua sampai tiga kali. Pada akhirnya dengan pertimbangan yang matang,
kita mampu menyaring informasi yang baik dan benar-benar berguna bagi
kelangsungan hidup. Jadi, mulai sekarang budayakanlah berpikir kritis terhadap
semua fenomena sosial yang ada di sekitar kita termasuk iklan.#BRIDGING COURSE 05
Ni Ketut Dimar Warsihantari
Daftar Pustaka
Ririh,Natalia. Peringatan di Bungkus Rokok Masih Sulit.
Diakses dari http://health.kompas.com/read/2012/09/17/15000126/Peringatan.Bergambar.di.Bungkus.Rokok.Masih.Sulit
pada tanggal 18 September 2012.
Tim Redaksi Modern. Kontroversi Iklan Rokok. Diakses dari http://desamodern.com/index.php/read/news/view/371/Kontroversi-Iklan-Rokok
pada tanggal 18 September 2012.
Normansyah. Peringatan Pada Bungkus Rokok Dengan Tulisan
Tidak Efektif.Diakses dari http://www.fakta.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=191:peringatan-pada-bungkus-rokok-dengan-tulisan-tidak-efektif&catid=36:siaran-pers&Itemid=87
pada tanggal 18 September 2012.
Rahadian, Dimas. CSR Perusahaan Rokok Indonesia. Diakses
dari http://rahadiandimas.staff.uns.ac.id/?p=755
pada tanggal 21 September 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar