Judul :
Indonesia Mengajar
Jumlah Halaman :
322 halaman
ISBN :
978-602-8811-57-6
Penyunting :
Ikhdah Henny dan Retno Widyastuti
Penerbit :
Penerbit Bentang
Cetakan pertama :
November 2011
Wacana-wacana masyarakat Indonesia sering diserbu berita
kemenangan besar generasi muda dalam kompetisi internasional. Bangsa Indonesia
boleh sedikit mengangkat dagu karena ribuan torehan medali yang disumbangkan
anak didiknya. Mulai dari medali emas, perak, perunggu hingga inovasi teknologi
meraih penghargaan dunia. Namun tidak banyak tulisan yang mencatat kisah
perjuangan sukarelawan muda dalam pemberantasan penyakit kronis pelosok negeri
yaitu kemiskinan pendidikan. Salah satu buku yang sukses menyahut janji
kemerdekaan Indonesia dalam bidang pendidikan adalah Indonesia Mengajar.
Senada dengan judulnya, buku ini berbicara tentang
perjuangan 51 pengajar muda yang berusaha menebas tiang-tiang pembatas mimpi
siswa SD di berbagai pelosok negeri. Promotor-promotor pendidikan itu memilih
untuk mengabdi pada negara daripada meniti karir di perusahaan ataupun intansi
yang notabenenya makmur gaji. Mereka adalah sarjana muda terpilih dari berbagai
jurusan dan daerah yang simpati terhadap
ironisme pendidikan Indonesia. Wajah lain pendidikan Indonesia ternyata masih
memerlukan uluran tangan para tenaga terdidik. Tagline “Mendidik adalah kewajiban orang terdidik” tercermin dalam
setiap kisah yang dicatat oleh para pengajar muda dalam buku ini.
Indonesia
Mengajar mengelompokkan kisah-kisahnya
menjadi empat subtema. Subtema pertama diberi judul Anak-Anak Didik Pengajar Muda. Setelah itu dilanjutkan dengan
subtema Memupuk Optimisme, Belajar Rendah Hati, dan Ketulusan Itu Menular. Pembaca akan
disuguhkan kisah-kisah inspiratif dan menarik dari keempat subtema itu. Bukan
hanya tentang keadaan siswa didiknya namun juga relasi pengajar muda dengan
lingkungan baru mereka yang mengundang tawa, tangis, dan decak kagum
pembacanya.
Terlepas dari apapun bentuknya, setiap wacana pasti memiliki
kekuatan dan kelemahan. Kekuatan buku ini muncul dari empat aspek. Empat aspek
tersebut tampak pada sampul buku, kebaruan (orisinalitas) cerita, karakter
tulisan, dan nilai guna buku. Sedangkan kelemahannya terletak pada bahasa
penulisan, tata letak ilustrasi data, dan keterpaduan cerita dengan subtema.
Sampul buku ini sukses menarik perhatian pembaca untuk
pertama kali. Gambar Anies Baswedan dan beberapa siswa berpakaian merah putih representatif
dengan isi buku yang disuguhkan. Rumah kayu di atas genangan air laut dan dua
orang pengajar muda yang muncul dari dalamnya semakin menguatkan esensi tulisan
Indonesia Mengajar. Perpaduan warna
hijau dan kuning yang ditampilkan menimbulkan kesan bersahaja namun tetap
menggugah minat membaca.
Selain itu, nilai kebaruan (orisinalitas) yang ditawarkan
menyeret rasa ingin tahu yang besar untuk membacanya. Buku ini meluncur di
tengah-tengah dengungan Gerakan Indonesia Mengajar yang diketuai oleh Anies
Baswedan. Wacana yang hangat tentu menjadi incaran semua maniak buku.
Masyarakat cenderung ingin tahu topik yang sedang hangat dibicarakan dibanding
wacana yang sudah basi.
Variasi karakter tulisan yang disuguhkan sukses menjerat
bola mata pembaca untuk kedua kalinya. Kisah yang dibuat Saktiana Dwi Hastuti, pengajar
muda dari Jurusan Sastra Indonesia terasa lebih mengalir. Misalnya Bangunnya Keke dari Mati Suri dan Dari Belut Turun Ke Hati menyajikan
logika penulisan yang mudah diikuti dari hulu hingga hilir tulisan. Beberapa tulisan
yang ringan dan sarat tawa muncul pada
kisah Mas Guru Punya Cerita:The Little
Monsters, Tepuk Nyamuk dan Anak Berbahasa Angka. Berbeda halnya
dengan Zaki Laili Khusna, pengajar muda dari Fakultas Psikologi yang serius
mengupas kondisi psikologis siswanya dalam
Maya Ngambek Lagi. Selain itu Ibu, Pelanggaran! karya Nisa Rachmatika memiliki nuansa paling unik karena dia
satu-satunya pengajar muda yang sangat menikmati kekacauan dan keliaran
anak-anak di Muda Majene.
Sembari menghanyutkan atensi pembaca pada karakter
tulisan, buku ini menyuntikkan manfaat dan nilai guna yang tinggi. Kemunculan
51 pengajar muda yang mengemban misi besar kemerdekaan pendidikan sangat menginspirasi
banyak orang. Mereka sadar bahwa anak-anak di pelosok negeri juga berhak
mengenyam kenikmatan pendidikan. Setiap desa ternyata menyimpan bibit-bibit
emas yang tidak kalah dengan pelajar kota. Rekonstruksi cerita tentang anak-anak
pedalaman dan relasi pengajar muda dengan lingkungan secara tidak langsung
menanamkan pada kita bahwa empati, optimisme, keikhlasan, ketulusan, dan rendah
hati adalah cerminan paling dasar dari sebuah pendidikan.
Sayangnya, bahasa penulisan masih belum bisa disebut
sempurna. Pada kisah pertama Rizki, My
Genius Student terdapat inkonsistensi penggunaan kata saya. Di awal cerita, penulis menyebut dirinya saya namun dari bagian tengah hingga akhir, kemunculan kata aku tentu membingungkan pembaca. Penggunaan
bahasa Inggris yang dicampuradukkan dengan bahasa Indonesia yang muncul di
beberapa sudut tulisan menimbulkan kesan ketidakbakuan. Misalnya dalam tulisan Membaca Indonesia Raya terdapat kalimat Just wanna say to everyone in this world
bahwa jika hari ini.... dan Membayangkan
papa-indoq, ayah ibu hostfam-ku yang bakal senyum.... Selain itu, pada
tulisan Pintu Tambak And The World
Economy muncul juga kalimat What
fascinates me the most adalah kerja tersebut.... Bahasa penulisan tersebut
wajar muncul karena buku ini adalah hasil adaptasi dari blog walaupun sudah
disunting sebelumnya.
Tata letak ilustrasi data terasa kurang efektif. Beberapa
tulisan dilengkapi dengan foto-foto dokumentasi namun kebanyakan tidak. Selain
itu, data informasi berupa peta penempatan pengajar muda terpisah jauh dengan
tulisan terkait. Pembaca akan terlalu sibuk membolak-balikkan kertas untuk
mencari informasi lokasi pengajar muda karena letaknya di akhir buku. Seharusnya
catatan kaki pada awal tulisan memuat data lokasi dengan sangat detail sehingga
pembaca mudah membayangkannya.
Jika pembaca mempertahankan fokusnya dari awal hingga
akhir, mereka akan menemukan segelintir ketidaksesuaian cerita dengan subtema
buku ini. Misalnya kisah Sekolah Tanpa
Nama hadir dalam subtema Ketulusan
Itu Menular. Kisah ini semata-mata hanya mendeskripsikan kondisi masyarakat
dan sebuah sekolah yang tidak beridentitas di kawasan Moro Seneng. Nilai-nilai
ketulusan tidak menjadi benang merah dalam kisah ini.
Terlepas dari kelemahan yang dimilikinya, Indonesia Mengajar sangat layak
dikonsumsi oleh masyarakat. Buku ini berani unjuk gigi dan menginspirasi
generasi muda terdidik. Buku ini juga yang menyadarkan kita bahwa masih ada
wajah muda yang optimis mewujudkan kemerdekaan pendidikan di Indonesia.
Pendidikan menjadi hak kemerdekaan semua orang dan mendidik bukan lagi sekadar
profesi yang menekankan profit oriented.
Mendidik adalah tanggungjawab mulia yang melekat pada lulusan sekolah manapun. Mendidik
adalah kewajiban orang-orang terdidik.