Kamis, 12 Desember 2013

Distorsi

gambar diunduh dari keranjangkertas.blogspot.com

Aku sering memanggilnya Cak Mul. Topi abu-abunya selalu berhasil melayangkan lamunanku pada pemain saxophone di layar televisi. Kaca mata bulatnya sama antiknya dengan milik Harry Potter dalam seri The Chamber of Secret hingga The Deathly Hallows. Tidak ada yang spesial dengan baju dan celana panjangnya. Namun, ujung sepatunya yang sedikit melancip ke atas mengingatkanku pada para cowboy Texas. “Khas sekali”, batinku dalam hati.
Anehnya, keberadaannya lumayan mengusik batinku. Ini adalah sebuah dilema. Aku terpesona oleh wawasan sejarah yang dimilikinya walaupun pada akhirnya kepercayaan diriku hidup dan padam bergantian. Aku adalah anak yang sangat percaya diri. Dulu aku sering kebanjiran pujian karena nilai Sejarah yang selalu di atas sembilan. Padam karena aku merasa agak termarjinalkan oleh keluwesan pengetahuan sejarah yang dimilikinya.

***
Ini kali pertama kuliahku. Ruang kelas kuliah berbeda dengan ruang kelas semasa SMA. Tapi aku senang. Itu artinya aku bisa mengisi ruang-ruang kosong di otakku dengan berbagai macam kebenaran lagi. Aku senang menyimpan fakta-fakta yang disajikan guru SMA ku sebagai kebenaran. Dan kebenaran-kebenaran itu sudah kokoh.
Lamunanku semasa SMA tiba-tiba buyar ketika Cak Mul melemparkan pertanyaan kepada Izki, teman baruku.
“Tahun berapa Perang Diponegoro meletus?”
“Ga tau Cak”, jawab Izki malu-malu. Dia selalu tertawa kecil sembari menggaruk kepalanya ketika tidak mampu menjawab pertanyaan dosen. Kemudian Cak Mul menunjuk anak lainnya. Begitu seterusnya.
Pertanyaan sederhana tetapi mereka yang bahkan lebih banyak dibekali pengetahuan sosial kesulitan berkata-kata. Semua anak yang ditunjuknya satu per satu menggelengkan kepala. Beberapa dari mereka sibuk saling tanya. Jantungku mulai berdegup kencang. Mudah-mudahan jarinya mengacung ke arahku. (Supaya semua orang termasuk dosenku tahu seberapa besar kekaguman dan memoriku tentang sejarah Indonesia). Dia boleh bertanya padaku tentang persamaan reaksi, sistem peredaran darah manusia, atau apapun tentang pertidaksamaan aljabar. Tentang sejarah? Tentu melebihi apapun.
Jarinya tidak juga bergerak ke arahku. Sembari berharap aku membiarkan bibirku membentuk sebuah jawaban tapi ku tahan volumenya. “1825” desisku. Sampai tiga kali ku mendesis tapi Cak Mul tetap memaksa Adri untuk menjawab. Ah..percuma, tidak seorang pun bisa memaksanya untuk membuka mulut. Tampan tapi sayang pemalu kelas berat.
“Tahun 1825. Apa saja yang kalian dapat waktu SMA? Yaampun...”, keluh Cak Mul.
Aku melengos kesal. Tapi senang karena aku benar.
“Lalu apa pemicu utama meledaknya Perang Diponegoro?”
Lagi-lagi semua penghuni ruang 103 ini menutup mulut. Bola-bola mata itu saling tubruk. Mereka seolah-olah berbicara, “Aku tidak tahu. Kau bagaimana?”
“Karena Pangeran Diponegoro tidak terima makam leluhurnya dilanggar oleh pembangunan jalan pemerintah!”, aku menjawab dengan lantang. Tidak tahan lamanya aku ditunjuk olehnya. Dan kali ini aku bangga dengan diriku. Saat ini semua teman dan dosen ini pasti akan mengagumi kepintaranku dalam sejarah.
“Itu jawaban standar”, komentarnya seakan merubuhkan nilai 9 untuk mata pelajaran sejarah di raportku. “Standar?” pekikku dalam hati. Jika saja dia bertemu guru sejarah SMA-ku pastilah dia sudah habis.
 “Siapa tahu Perang Diponegoro terjadi karena siasat adu domba Belanda dan bukan sebab amarah semata. Kalian harus tahu satu hal. Buku-buku sejarah yang kita dapat waktu SD adalah rekonstruksi pemerintah Belanda. Sejarah kita ditulis oleh tangan-tangan penjajah kemudian cetakannya dibawa ke Indonesia. Jangan-jangan mereka sengaja menanamkan realita yang salah pada kita selama ini”, jelasnya panjang lebar.
Semua anak terlihat mengangguk yang berarti menyetujui pernyataan Cak Mul. Aku menganggapnya janggal.
“Kalian menganggap Dracula punya taring panjang, menggigit manusia untuk diminum darahnya, bukan?”, Cak Mul bertanya.
Halah....Seperti biasa, dia terlalu cepat mengubah topik pembicaraan. Hati dan pikiranku belum selesai berontak. Aku masih ingin sekali memprotes argumennya tentang jawabanku yang standar. Darimana pula dia yakin bahwa cerita Perang Diponegoro adalah rekonstruksi tangan Belanda? Aku seratus persen tidak yakin karena dia tidak pernah sekali pun menyebutkan sumber atau referensi yang valid.
Tetapi, setelah mendengar kata Dracula aku sedikit melumer. “Ada apa dengan Dracula?”, pikirku.
Dia hafal betul kerutan-kerutan dahi itu mengisyaratkan kebingungan. Dracula tidak pernah didiskusikan dalam pelajaran sejarah waktu SMA. Setelah melihat wajah kami yang linglung, akhirnya Cak Mul menyerah. Kali ini mungkin dia sudah bosan menunjuk karena kami lama tidak memberi feed back.
“Semua itu bermula dari Perang Salib. Ada anak kaisar yang jatuh cinta pada seorang putri. Suatu hari, anak kaisar itu ditugaskan oleh kerajaan untuk berperang membela gereja. Saat kembali ke kerajaan dan membawa kemenangan, tidak disangka kaisar memperisitri putri. Sejak saat itu, anak kaisar mulai membenci kebaikan. Dia membunuh satu per satu orang-orang di sekitarnya abhkan yang baik sekalipun. Dialah yang sering disebut dracula. Jadi, hilangkan deksripsi kalian tentang sosok dracula bertaring tajam yang suka minum darah”, ungkapnya sembari menyelipkan tangan kanan ke saku celana panjangnya.
Pintar sekali! Kali ini aku memang tidak memiliki secuil pun sejarah Dracula. Dengan amat berat hati, aku benar-benar dibuatnya bergeming.
“Jangan mudah percaya dengan apapun. Selalu pertanyakan apa yang kalian anggap benar selama ini!”, imbuhnya.
           
***
Empat bulan berlalu, titik balik itu benar-benar muncul. Sepertinya, batin sudah lelah bersitegang dengan pikiran-pikiran anehnya yang tidak aku mengerti. Ya Tuhan.. ceritanya membuatku konyol. Benda asing itu mengombang-ambingkan pijakanku. Posisiku lemah sekarang.
“Mengapa setangkai bunga mawar merah yang utuh selalu melambangkan cinta? Mengapa bukan bunga mawar putih? Atau mengapa bunga mawar yang kelopaknya telah terlepas tidak bisa lagi menjadi lambang cinta”, batinku dalam hati. Ya, ku pastikan dia semakin mengobrak-abrik kebenaran-kebenaran yang aku yakini selama ini.
Betul. Lalu mengapa mawar merah. Tidak bisakah bunga yang lain? Ah...kini aku seharusnya juga tidak meyakini langsung kebenaran yang diucapkan orang lain. Siapa pun itu dan apa yang diyakininya adalah ketidakpastian.

***
Pagi ini Cak Mul terlihat berbeda dengan minggu-minggu sebelumnya. Jaket berkantung itu lebih keren menempel di tubuhnya yang tinggi jangkung. Saat berbicara, dia gemar menyelipkan tangan ke kantung jaket itu. Bukan lagi ke kantong celana panjangnya yang abu-abu.
Ia memulai kuliah. Kali ini tanpa bertanya terlebih dahulu, ia memaparkan sejarah kemerdekaan Indonesia. Dengan suara merdu dan gayanya yang selangit, dia mulai membuka mulut.
“Pada waktu itu, bangsa Indonesia yang diwakilkan Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaaan Indonesia. Tapi tahukah kalian, sebenarnya itu terjadi karena Jepang dibombardir oleh Amerika Serikat? Jangan mudah percaya dengan cerita-cerita di buku atau siapapun!” Cak Mul berkata dengan yakinnya.
Benar. Siapa tahu Jepang sengaja melepaskan Indonesia karena kotanya diluluhlantakkan oleh Amerika Serikat, pikirku. Kemudian, dia segera membahas topik baru lagi.
“Kenapa orang Papua menutupi kemaluannya dengan koteka? Kenapa bukan bagian pantat atau kepala yang ditutupi? Lalu kenapa wanita Bali zaman dahulu percaya diri memperlihatkan payudaranya? Kenapa pula mereka memilih untuk menutupi pinggang hingga mata kaki dengan kain? Pantat dan payudara juga punya hak untuk ditutupi. Munculkan pertanyaan semacam itu!”
Seisi kelas mengangguk, termasuk aku. Kali ini aku mulai terbiasa. Tidak ada yang salah. Kita bebas mempertanyakan sesuatu dan tidak mendapatkan jawaban. Itu artinya aku hilang pijakan.
Semenit kemudian dia mengganti bahan pembicaraan lagi.
“Kalian harus tahu kalau sebenarnya Imam Bonjol hanya duduk-duduk tenang di teras rumahnya saat Perang Paderi meletus”, lirikan matanya menghantamku.
“Saya ingin kalian menjadi orang kritis! Sekarang tanyakan pada saya sejarah apa yang kalian ragukan!”, ucapnya dengan mimik serius.
Hatiku mulai tersentil. Perlahan-lahan Cak Mul mulai kesal karena tidak satu pun dari kami yang mengomentari pernyataannya. Semenjak aku meredup, kelas ini seperti kota mati. Dosen berbicara, mahasiswanya membisu.
“Oke! Tanyakan pada saya hal apa saja yang membuat kalian resah!”, nadanya meninggi. Langkahnya mendekat ke tempat dudukku. Di balik kaca matanya yang bening ada tatapan jengis mengarah padaku.
Aku sempat menatapnya selama lima detik. Namun kali ini dengan tatapan kosong dan tidak bergairah. Tidak seperti biasanya. Mulutku lemah lembut bertanya.
Cak, bolehkan saya tidak percaya dengan cerita Anda?”
Ekspresi wajahnya mengkerut. Tidak ada respon apapun. Dia terlihat agak marah. Bukan! Dia nampak masih shock dan kebingungan.

“Anda bilang seorang mahasiswa tidak boleh mudah percaya dengan siapapun dan hal apapun. Itu artinya saya berhak menaruh ragu pada Anda kan Cak ?”, tanyaku dengan mata sayu.

Tidak ada komentar:

Blog Archive

Kontributor