Sabtu, 08 Desember 2012

Indah Tanpa Mendulang Kartu Merah




            “Keindahan sebuah tulisan boleh menjadi unsur penting dalam dunia jurnalisme namun wartawan dilarang menghitamkan objektivitas berita dan nasib publik.”
Antara nilai jual berita dan nasib publik. Dua hal ini menimbulkan gejolak batin yang hebat dalam diri seorang wartawan. Nilai jual berita boleh jadi persoalan hidup mati seorang wartawan. Tanpa menyelipkan unsur ‘pemanis’ dalam berita, masyarakat bisa dibuat jemu dan beralih pada berita lain. Atensi pembaca adalah barang mahal. Maka dari itu, kelihaian wartawan dalam menyusun kata adalah hal yang urgent. Di sisi lain, nasib publik selalu menggantung pada berita-berita karya wartawan. Berita media massa memiliki kekuatan untuk membentuk opini publik. Jika subjektivitas dan ‘pemanis’ wartawan terlalu banyak, maka tidak heran keterpihakan terhadap suatu objek muncul dalam paradigma masyarakat.
Kesalahan terbesar wartawan adalah apabila mereka menganulir esensi ‘pemanis’ itu sendiri. Objektivitas berita meluntur dan manipulasi fakta merebak di setiap kalimat. Pemanis dalam berita yang mudah dikenali adalah diksi. Diksi yang menarik bukannya berwujud bahasa berbunga-bunga yang justru menyimpang dari inti berita. Kekuatan diksi terwujud jika tulisan dapat menghanyutkan pembaca tanpa mengaburkan unsur 5W+1H. Tujuan akhir penulisan adalah bentuk karya tulis yang bisa dinikmati pembaca dan tidak sekadar memuaskan hasrat penulisnya (Prajarto, 2006:4). Walaupun subjektivitas wartawan tidak bisa dihilangkan sama sekali, akurasi data adalah prioritas utama yang harus dikejar. 
Daya tarik berita sexy yang diangkat wartawan justru dapat menimbulkan bahaya jika prinsip cover both sides tidak direalisasikan. Berita sexy adalah lahan subur yang diburu wartawan untuk meningkatkan nilai jual tulisan mereka di media massa. Dalam istilah jurnalisme cover both sides berarti memberi ruang yang imbang pada pihak yang berkonflik. Wartawan harus bersikap netral dan impartial (tidak memihak salah satu pihak yang berkonflik). Berita ‘pincang’ hanya akan menyulut kemarahan publik. Sebuah media massa bisa dituntut jika memberitakan hal-hal yang tidak sesuai kode etik jurnalistik. Masyarakat yang cerdas dan kritis pasti menyentak berita-berita semacam itu. Tetapi, keadaan berkata lain jika konsumen berasal dari golongan tidak terdidik. Tanpa berpikir dua kali mereka menganggap bahwa pihak ini salah karena pihak itu yang benar. Tentu saja, berita-berita semacam ini memperburuk kualitas pandangan hidup masyarakat.   
Tanggung jawab wartawan adalah melaporkan bukan menciptakan berita. Melaporkan berarti menyuguhkan kembali peristiwa yang terjadi tanpa mengurangi akurasinya. Wartawan dilarang mereka-reka sebuah berita. Wartawan harus memahami efek berita yang ditulisnya terhadap publik. Hal ini tidak terlepas dari posisi publik sebagai konsumen berita dan koran sebagai salah satu bentuk media massa yang penyebarannya masif. Anggapan ini diperkuat oleh sifat komunikasi yang irreversible. Sekali mengkomunikasikan sesuatu, tidak seorang pun mampu mengendalikan ataupun menghilangkan efek komunikasi itu (Mulyana,2003). Oleh karena itu, sebuah berita harus beranjak dari fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Adalah hal yang tercela jika penulis berita mencoba untuk membohongi publik dengan imajinai belaka.
Wartawan di lain sisi juga bagian dari publik. Artinya, wartawan harus membuat berita yang baik demi mendapatkan informasi yang jelas dan bebas dari unsur keterpihakan. Keindahan tulisan memang tidak pantas dinomorsekiankan. Namun, mengindahkan tulisan bukan berarti mengurangi kadar objektivitas berita. Indah bukan berarti harus melanggar kode etik jurnalistik. Indah yang benar adalah tanpa mendulang kartu merah.#BRIDDGING COURSE 13

Daftar Pustaka
Prajarto, Nunung. 2006. Tulis Saja, Kapan Lagi. Yogyakarta: Penerbit Fisipol UGM, hal. 4.
Mulyana, Deddy. 2003. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung:Remaja Rosdakarya.

Tidak ada komentar:

Blog Archive

Kontributor